A. Hakekat dan Tujuan Pendidikan Agama
Islam
Pendidikan
Agama islam dapat diartikan sebagai usaha sadar, sistematis, berkelanjutan
untuk mengembangkan potensi rasa agama, menanamkan sifat, dan memberikan
kecakapan sesuai dengan tujuan pendidikan islam. Fungsi pendidikan di tinjau
dari sudut pandang sosiologis dan antropologis adalah untuk menumbuhakan
kreatifitas peserta didik. Karena itu tujuan akhir pendidikan islam adalah
untuk mengembangkan potensi kreatif peserta didik untuk menjadi manusia yang
baik menurut pandangan manusuia dan menurut pandangan agama islam.
Hakekat pendidikan islam adalah
proses pemeliharaan dan penguatan sifat dan potensi insani sehingga menimbulkan
kesadaran untuk menemukan kebenaran. Tujuan pendidikan islam adalah
mengembangkan potensi peserta didik serta meningaktkan ketaqwaan pada Tuhan
Yang Maha Esa dan membentuk karakter siswa yang menghargai dan menjunjung
tinggi kebenaran.[1] Tujuan
dari pendidikan islam tidak akan tercapai dengan baik jika proses penanaman
nilai tidak dilakukan sedini mungkin.
Proses penanaman nilai dalam pembelajaran PAI di
kelas dapat dimulai dalam penyusunan dalam rencana pembelajaran atau RPP dengan
menggunakan pendekatan pembelajaran nilai. Artinya, dalam proses pembelajaran
guru harus mampu melibatkan emosi siswa secara aktif untuk menumbuhkan
kesadaran tentang nilai-nilai moral. Dengan begitu, proses pembelajaran tidak
hanya berkisar pada ranah kognitif semata, namun juga pada ranah psikomotorik
dan afeksi yang pada akhirnya akan membentuk karakter siswa yang menjunjung
tinggi nilai-nilai moral dan mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
B.
Pendekatan Pembelajaran Nilai
1.
Konsep Nilai
Nilai merupakan segala sesuatu yang dianggap
bermakna bagi kehidupan seseorang yang dipertimbangkan berdasarkan kualitas
benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah, yang orientasinya pada
antroposentris dan heliosentris.[2] Menurut
Kniker, nilai merupakan istilah yang tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan
yang ditempatkan sebagai inti dari proses dan tujuan pendidikan. Dengan
demikian hubungan antara nilai dan pendidikan sangat erat. Nilai dilibatkan
dalam setiap tindakan pendidikan. Maka pendidikan nilai merupakan penanaman dan
pengembangan nilia-nilai pada diri seseorang. Penanaman nilai yang dimaksud di
sini tidak harus berupa program khusus. Pendidikan nilai berorientasi pada
pembentukan karakter peserta didik agar mereka bermartabat dan berbudaya luhur
dan merupakan suatu program yang
terintegrasi dalam semua mata pelajaran atau lembaga.
Tujuan
dari pendidikan nilai adalah untuk mengarahkan pada pemenuhan kebutuhan peserta
didik berkenaan dengan kepribadian dan karakter mereka yang tergantung pada
nilai-nilai. Maka tujuan pendidikan nilai dapat diklasifikasikan menjadi tujuan
umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dari pendidikan nilai adalah membantu
peserta didik untuk memahami, menyadari, dan mengalami nilai-nilai serta mampu
menempatkannya secara integral dalam kehidupan. Sedangakan tujuan khusus dari
pendidikan nilai adalah menerapkan pembentukan nilai pada anak, dan membimbing
perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut.
2. Bentuk-bentuk Pendekatan
Pembelajaran Nilai
Terdapat
beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran nilai.
1)
Pendekatan
pengembangan rasional, difokuskan pada peran rasio peserta didik dalam membedakan
berbagai nilai berkaitan dengan perilaku baik-buruk.
2)
Pendekatan
pertimbangan nilai moral, difokuskan untuk mendorong peserta didik membuat
pertimbangan moral terkait masalah-masalah moral.
3)
Pendektan analisis nilai, membimbing siswa untuk berfikir
logis dan sistematis dalam menyelesaikan suatu masalah yang mengandung nilai.
4)
Pendekatan Perilaku Sosial, dilakukan dengan cara guru
memberikan stimulus dengan melibatkan siswa dalam kegiatan yang berkaitan
dengan moral.
5)
Pendekatan Kognitif, dilakukan
dengan cara mengajak
peserta didik menganalisis
masalah moral dan akan menjadi pengalaman mental sekaligus pemahaman
dan pengetahuan baginya.
6)
Pendekatan Afektif, pendekatan
ini memiliki konsep bahwa belajar sebagai upaya sadar individu untuk memperoleh
perubahan perilaku secara keseluruhan, baik perubahan dalam aspek kognitif,
afekif, dan psikomotorik.[3]
Nilai terbentuk melalui beberapa tahapan. Tahap
pertama disebut juga dengan tahap
reciving, pada tahap ini seseorang akan secara aktif dan sensitif menerima
stimulus. Lalu pada tahap yang kedua, disebut juga dengan tahap responding dimana seseorang mulai
bersedia menanggapi shatimulus dalam bentuk respon yang nyata. Tahap
selanjutnya adalah tahap valuing
dimana seseorang mulai mampu menyusun persepsi tentang nilai yang diterimanya.
Tahap keempat adalah tahap orgnanization
dimana seseorang mulai mampu mengorganisasikan nilai itu menjadi bagian dari
dalam dirinya. Dan tahap yang terakhir adalah karakterisasi yaitu kemampuan seseorang untuk mengorganisasikan
nilai dalam dirinya secara mapan, ajeg, dan konsisten.[4]
Dapat disimpulkan bahwa nilai tidak terbentuk begitu saja, namun melalui
beberapa tahapan. Untuk itu agar nilai dapat menyatu dengan karakter seseorang
tidak dapat dilakukan secara instant, namun pembelajaran nilai harus dilakukan
secara konsisten dan berkelanjutan.
A. Pembelajaran
PAI dengan Pendekatan Nilai
Pembelajaran nilai tidak akan tercipta begitu saja
tanpa adanya perencanaan yang baik. Dalam pembelajaran di kelas, pembelajaran
nilai dimasukkan dalam setiap lini mata pelajaran, tidak terkecuali dalam PAI.
Perencanaan ini dapat dimulai dengan menyusun RPP yang sedemikian rupa sehigga
guru dapat merencanakan pemebalajaran yang diarahkan untuk membantu siswa
memahami materi sekaligus menanamkan nilai-nilai moral. Dalam menyusun Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran atau RPP, banyak aspek yang harus diperhatikan oleh
guru, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar
Langkah yang pertama dalam
penyusunan rencana pembelajaran adalah merumuskan tujuan instruksional, yaitu
rumusan pernyataan mengenai kemampuan atau tingkah laku yang diharapkan
dimiliki siswa setelah mengikuti proses pembelajaran. Rumusan tujuan ini dibuat
oleh guru, oleh karena itu guru harus memahami tiga hal pokok, yaitu:
a)
Guru
harus mempelajari kurikulum sebab bahan yang diajarkan dan tujuan umum bahan
tersebut terdapat dalam kurikulum khususnya GBPP.
b)
Memahami
tipe-tipe hasil belajar siswa, diantaranya adalah tipe hasil belajar kognitif,
afektif, dan psikomotorik.
c)
Cara
merumuskan tujuan pengajaran, sehingga tujuan tersebut jelas isinya dan dapat
dicapai oleh siswa.
Tujuan
pengajaran terbagi menjadi dua yaitu tujuan isntruksional umum dan tujuan
instruksional khusus. Yang dimaksud dengn tujua instruksional umum adalah
standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus disusun dengan melibatkan
tiga ranah yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Prinsip dasar
tujuan PAI adalah terbentuknya keyakinan atau hati nurani tentang nilai–nilai
islam, sehingga fokusnya adalah pembentukan kemampuan afeksi. Diharapkan setelah
siswa memahami muatan materi yang sifatnya kognitif, siswa dapat memahami dan
menghayati nilai-nilai moral yang terkandung dalam materi ajar dan dapat
menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap selanjutnya, tugas guru
adalah mengembangkan tujuan instruksional umum menjadi beberapa tujuan
instruksional khusus atau indikator pembelajaran.
2.
Tujuan Instruksional khusus atau
indikator pembelajaran
Tujuan instruksional
khusus dibuat untuk satu kali tatap muka. Untuk menentukan berapa banyak
kompetensi dasar yang ingin dicapai, sebaikanya guru memperhatikan beberapa
aspek seperti:
a)
Luas
dan dalamnya materi, artinya seberapa banyak jangkauan bahan yang akan
diajarkan dan seberapa jauh kedalaman isi bahan tersebut.
b)
Waktu
yang tersedian (sesuai dengan kurikulum)
c)
Sarana
belajar dan tingkat kesulitan bahan dan pemahaman siswa.
Dalam perumusan
indikator pembelajaran hendaknya mengandung berbagai hasil belajar yang
dibedakan menjadi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hasil belajar kognitif
berkenaan dengan aspek intelektual, seperti pengenalan, pemahaman, aplikasi,
analisis, sistesis, dan evaluasi. Hasil belajaar afektif berkenaan dengan
sikap, nilai, minat, perhatian, dll. Sedangkan hasil belajar psikomotrik
menyangkut kegiatan praktek. Khususnya dalam PAI, pembelajaran hendaknya lebih
diarahkan dalam pembentukan nilai. Namun dalam kenyataannya, hasil belajar yang
dicapai oleh sekolah umumnya hanya mencakup aspek kognitif saja. Akibatnya terjadi ketimpangan, banyak siswa yang
memahami materi dari segi kognitif saja tanpa adanya implikasi terhadap
sikapnya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh adalah
dalam pembelajaran PAI tentang sikap jujur. Secara kognitif siswa mengetahui
apa itu arti kejujuran, apa dampaknya ketika tidak jujur dan lain sebagainya.
Namun dalam praktek kesehariannya siswa tidak berlakuk jujur dengan
berbohong, menipu dan lain sebagainya.
Itu artinya guru hanya berhasil dibidang kognitif saja tanpa mampu memasukkan
nilai-nilai kepada siswa. Untuk itu guru harus mampu membangkitkan kesadaran
siswa dalam proses pembelajaran.
Terdapat
beberapa syarat untuk merumuskan tujuan instruksional khusus atau indikator
pembelajaran, yaitu pertama rumusan
tujuan harus berpusat pada perubahan tingkah laku pada peserta didik. Kedua, rumusan tujuan pengajaran khusus
harus berisikan kata kerja yang operasioanl yang dapat diukur pada saat itu
juga. Kata kerja operasional untuk masing-masing ranah terbagi menjadi beberpa
tingkatan. Hal ini menyesuaikan dengan tingkat kemampuan berfikir anak atau
perkembangan kognisi anak. Dengan memperhatikan tingkatan perkembangan kognisi
anak, guru dapat memilih meteri dan cara yang tepat untuk menyampaikan meteri
tersebut.
Ketiga,
rumusan tujuan berisikan makna dari pokok bahasan yang akan diajrkan saat
itu. Prinsip dasar tujuan PAI adalah terbentuknya keyakinan atau hati nurani
tentang nilai–nilai islam, sehingga fokusnya adalah pembentukan kemampuan
afeksi. Diharapkan setelah siswa memahami muatan materi yang sifatnya kognitif,
siswa dapat memahami dan menghayati nilai-nilai moral yang terkandung dalam
materi ajar dan dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Materi Pembelajaran
Bahan pelajaran merupakan materi yang akan
disampaikan pada siswa. Bahan pelajaran disusun setelah tujuan ditetapkan.
Bahan pelajaran harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat menunjang
tercapainya tujuan pengajaran. Sedangkan kegiatan belajar-mengajar ditetapkan
sesuai dengan tujun dan bahan pelajaran. Dengan demikian harus ada
kesinambungan antara tujuan, bahan pelajaran, dan kegiatan belajar-mengajar.
Secara umum bahan pelajaran dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu
fakta, konsep, prinsip dan keterampilan. Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam menetapkan bahan pelajaran:
a)
Bahan
harus sesuai dan menunjang tercapainya tujuan.
b)
Bahan
yang ditulis dalam perencanaan mengajar sebatas konsep saja atau hanya berupa
garis besarnya saja.
c)
Bahan
pelajaran harus runtut sesuai dengan urutan tujuan yang hendak dicapai.
d)
Ada
kesinambungan atau kontinuitas.
e)
Bahan
disusun dari yang sederhana menuju yang kompleks.
Dalam
pembelajaran PAI, hendaknya guru juga memperhatikan muatan nilai-nilai dalam
materi yang hendak disampaikan. Artinya dalam menentukan isi materi guru, tidak
hanya menyampaikan konsep semata namun juga menyampaikan nilai-nilai moral yang
terkandung di dalamnya. Secara umum pengetahuan tentang PAI bersifat informasi,
yang sekaligus mengandung nilai, maka pembelajaran PAI harus mampu membawa
siswa untuk memiliki esensi nilai dari seluruh materi PAI. Guru juga harus
pandai-pandai memilih bahan pelajaran, tidak semua bahan pelajaran yang ada
dalam buku teks harus disampaikan di muka kelas karena terbatasnya waktu yang
tersedia. Cakupan materi PAI harus meliputi pengetahuan dan esensi nilai yang
dapat memenuhi kebutuhan potensi-potensi manusia untuk berkembang. Potensi
manusia tersebut terbagi menjadi beberapa bagian:[5]
a)
Ilahiyah, materi mencakup akidah, tasawuf,
dan ilmu kalam.
b)
Abdiyah, meteri mencakup akidah, ibadah,
al-Qur’an, dan Hadits.
c)
Khalifiyah, cakupan materi mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan bahan pembentukan kesadaran dan kemampuan pelayanan umat
manusia, misalnya muamalah.
d)
Jasadiyah, terkait dengan pengendalian
dorongan egoistic (syahwat)
e)
Aqliyah, terkait dengan pengmbangan
intelektual secara islami.
Terdapat
dua cara dalam mengorganisasikan bahan
pelajaran, yang pertama membahas materi yang sifanya umum menuju ke khusus,
artiya guru memeberikan gambaran secara umum materi, baru kemudian baru
membahas materi secara lebih terperinci. Sedangkan cara yang kedua adalah
membahas materi satu persatu secara terperinci, baru kemudian disampaikan
kesimpulan secara umum. Pada umumnya, pendekatan yang pertama lebih berhasil,
sebab siswa mengetahui gambaran materi secara keseluruhan dan mengetahui bahwa
materi satu dengan yang lain saling berkesinambungan.
4.
Metode Pembelajaran
Metode
pembelajaran merupakan cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan
dengan siswa. Oleh karena itu peranan metode mengajar sebagai alat untuk
menciptakan proses mengajar dan belajar. Terdapat berbagai macam metode yang
dapat digunakan oleh guru. Perlu diingat bahwa setiap metode memiliki kelebihan
dan kekurangan, maka guru harus mampu mengkombinasikan antara metode satu
dengan yang lainnya. Disinilah tugas guru untuk memilih berbagai metode yang
tepat untuk menciptakan proses belajar mengajar. Ketepatan penggunaan metode
mengajar tersebut sangat tergantung pada tujuan, isi proses belajar mengajar dan
kegiatan belajar mengajar.[6]
Ditinjau dari segi penerapannya, metode mengajar ada yang tepat digunakan untuk
siswa dalam jumlah besar dan ada yang tepat digunakan dalam jumlah kecil. Banyak
jenis metode mengajar yang dapat digunakan, diantaranya: metode ceramah, metode
tanya jawab, metode diskusi, metode tugas belajar, metode demonstrasi, metode
kerja kelompok, metode role playing, dan lain sebagainya.
Kombinasi
antara dua atau tiga jenis metode mengajar merupakan suatu keharusan dalam
proses belajar-mengajar. Seperti yang kita tahu, dalam kegiatan
belajar-mengajar, terbagi menjadi tiga segmen yaitu kegiatan pendahuluan,
kegiatan inti dan kegiatan penutup atau evaluasi. Maka dalam rencana
pembelajaran, hendaknya guru menuliskan secara terperinci tentang metode yang
akan digunakan pada setiap segmen tersebut beserta ranah belajar yang ingin
dicapai. Misalnya, dalam kegiatan pendahuluan guru menuliskan metode yang akan
digunakan adalah metode ceramah dan ranah belajar yang ingin dicapai adalah
ranah kognitif karena pada segmen ini guru menyampaikan materi pada pertemuan
sebelumnya dan mengkorelasikan dengan materi yang akan disampaikan pada
pertemuan kali ini.
5.
Strategi Pembelajaran
Strategi mengajar merupakan tindakan nyata
dari guru atau praktek guru melaksanakan pengajaran melalui cara tertentu, yang
dinilai lebih efektif dan efisisen. Dengan kata lain, strategi mengajar
merupakan cara yang digunakan guru dalam praktik mengajar. Dalam menentukan
strategi mengajar terdapat tiga hal yang harus diperhatikan, yang pertama
adalah tahapan mengajar, model atau pendekatan dalam mengajar, serta penggunaan
prinsip mengajar.[7]
Banyak
jenis yang strategi yang dapat digunakan oleh guru, misalnya jenis-jenis
strategi yang dirumuskan oleh Melvin L. Silberman dalam Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subjects. Strategi
belajar yang ditawarkan adalah jenis strategi yang mengaktifkan siswa dalam
arti strategi yang melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran.
Siswa tidak dihanya diposisikan sebagai objek pembelajaran namun sebagai subjek
pembelajaran. Jenis strategi lain yang dapat digunakan oleh guru adalah
strategi CTL atau Contectual Teaching and
Learning.
6.
Kegiatan Pembelajaran
Pada
umumnya, kegiatan pembelajaran terdiri dari tiga tahapan. Yaitu tahap
prainstruksional, tahap instksional, dan tahap evaluasi. Pada tahap
prainstruksional, hal yang harus dilakukan oleh guru adalah menghubungkan
materi pada pertemuan sebelumnya dengan materi pada pertamuan ini. Maka pada
awal pertemuan sebaiknya memberikan beberapa pertanyaan terkait materi yang
telah diberikan untuk mengukur seberapa jauh pemahaman siswa dan seberapa jauh
tingkat keberhasilan guru dalam menyampaikan informasi.
Tahap
yang kedua adalah tahapan instruksional atau kegiatan inti. Pada tahap ini guru
menyampaikan materi pembelajaran sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
dalam rencana pembelajaran. Dalam pembelajaran PAI, alangkah lebih baiknya
sebelum meyampaikan materi, guru mengajak siswa untuk melakukan refleksi.
Misalnya materi yang akan disampaikan adalah zakat, maka sebelum guru menyampaiakan
materi tentang zakat, guru membangkitkan kesadaran siswa tentang nikmat dan rahmat
yang telah diberikan Allah atau diberikan gambaran tentang orang-orang yang
hidup dalam kemiskinan. Lalu siswa diajak untuk mensyukuri nikmat yang telah
mereka terima selama ini dengan menolong orang-oarng yang membutuhkan melalui
program zakat sehingga anak tidak hanya mengetahui konsep zakat secara teori,
namun anak juga paham betul tentang nilai-nilai positif dari zakat. Itif Dengan
begitu, materi tidak hanya berkisar pada ranah kognitif saja, namun juga pada
ranah afeksi.
Dalam penyampaian materi, sebaiknya guru
memperhatikan tingkat perkembangan kognisi siswa. Secara umum Piaget membagi
tahapan perkembangan kognisi anak menjadi beberapa tingkatan:[8]
a) Periode sensori motor (0-2 tahun)
tahap penguatan fungsi indra
b) Periode preconceptual (2-4 tahun)
tahap pemikiran awal
c) Periode Praoperational (4-7
tahun) tahap pemikiran imajinatif
d) Periode Concrete Operational (7-11
tahun) tahap berfikir konkrit
e) Periode Formal Operation (11
tahun keatas) tahap berfikir abstrak
dalam setiap tahap, anak memiliki
cara berfikir yang berbeda. Maka sudah tentu cara penyampaian materi yang digunakan
guru berbeda antara mengajar anak usia sekolah dasar dengan anak usia sekolah
menengah atas. Guru harus dengan tepat menyesuaikan bahan pengajaran
yang kompleks dengan tahap perkembangan anak, artinya guru harus sering
menunggu tahap perkembangan anak ang tepat untuk menyampaikan bahan tertentu
kepadanya.[9]
Tahap yang terakhir adalah tahap
evaluasi. Pada tahap ini melakukan evaluasi terhadap materi yang telah
disampaikan. Untuk mengukur pemahaman siswa, guru dapat memberikan sejumlah
pertanyaan. Sebelum pambelajaran ditutup, guru dapat mengajak siswa untuk
melakukan refleksi kembali. Misalnya dengan memberikan gambaran kepada siswa
bahwa zakat itu ringan dan guru dapat mengajak siswa untuk melakukan zakat
sabesar 2,5% dari uang sakunya.
7.
Evaluasi
Dalam
menyusun RPP, salah satu hal yang harus dilakukan oleh guru adalah melakukan
penilaian atau evaluasi. Penilaian hasil belajar berfungsi untuk mengetahui
tercapai tidaknya tujuan pembelajaran serta untuk mengetahui keefektifitasan
proses belajar mengajar. Sacara umum, penilaian dapat dilakukan melalui tes
ataupun nontes. Penilaian dengan tes dapat dilakukan dengan tes tertulis maupun
tes secara lisan. Sedangkan penilaian dengan nontes dapat dilakukan melalui
pengamatan, wawancara, angket, studi kasus, rating scale dan lain sebagainya.[10]
Dalam
menentukan instrumen penilaian sebaiknya memperhatikan aspek yang akan dinilai.
Artinya soal yang diberikan semata-mata tidak hanya mencakup aspek kognisi
saja, namun seimbang antara kognisi, afeksi dan psikomotorik. Akan lebih baik
jika instrumen penilaian yang digunakan dapat digunakan mendiagnosis, atau
mencari kelemahan siswa dalam belajar dan kelemahan guru dalam mengajar.
Idealnya hasil penilaian tersebut mencerminkan tingkat pemahaman siswa.
8.
Media dan Sumber Belajar
Media merupkan sarana yang digunakan dalam proses
belajar mengajar. Dengan penggunaan media, diharapkan dapat menunjang proses
pembelajaran. Dalam pembelajaran PAI, sarana yang digunakan menysuaikan dengan
materi yang disampaikan. Media dapat juga berupa alat peraga. Alat peraga
disediakan dalam rangka mewujudkan situasi belajar yang efektif. Sehingga
penyampaian materi tidak hanya secara verbal yang sifatnya abstrak, namun juga
akan membantu anak memahami materi tertentu secara konkrit. Guru juga perlu
mencantumkan sumber belajar yang digunakan secara jelas.
D.
Strategi Pembelajaran Nilai dalam PAI
Pada pembahasan sebelumnya telah
dijelaskan mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan mengajar dengan
menggunakan pendekatan pembelajaran nilai dalam PAI. Agar perencaan tersebut
dapat terlaksana dengan baik, maka guru harus mampu menjalin kerjasama yang
baik dengan peserta didik. Pembelajaran
nilai tidak hanya semata-mata membahas tentang konsep, namun lebih
mengutamakan praktik nyata dalam kehidupan sehar-hari.
Agar
pembelajaran nilai tersebut dapat berhasil dengan efektif dan
utuh, maka pendidikan perlu menyertakan
tiga basis desain dalam pemrogramannya. Pertama, desain pendidikan nilai
berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa
sebagai pembelajar di dalam kelas. Maka akan lebih baik jika guru memberikan
contoh perilaku yang nyata dalam kehidupan sehari-hari terhadap siswa sehingga
nilai-nilai moral yang diajarkan akan mudah dicontoh dan diteladani siswa.
Kedua, desain pendidikan nilai berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba
membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan
bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan
dalam diri siswa. Pesan moral mesti diperkuat dengan penciptaan kultur
kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten
terhadap pelanggaran.
Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik,
komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga
pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki
tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan nilai dalam konteks
kehidupan mereka. Pendidikan nilai hanya akan bisa efektif jika tiga desain
pendidikan nilai ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpa basis ini,
pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, tidak konsisten,
dan tidak efektif.
[1]HM.Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1996). Hlm73.
[2]
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai.(Bandung:Alfabeta.2004)
hlm 117-118
[3]
Maksudin. ‘ Pendidikan Nilai komprehensif..’. hlm26-27
[4]
HM.Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1996). Hlm71-72.
[5]
Materi dalam mata kuliah
Psikologi Belajar PAI, disampaikan oleh Dra. Susilaningsih, MA pada tanggal 9
Mei 2012.
[6]
Nana Sudjana. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. (Bandung:
Penerbit Sinar Baru Algesindo.2010) hlm.76-78
[7]
Melvin L. Silberman, Active Learning: 101 Strategies to Teach Any
Subjects. (Yogyakarta: Pustaka Insani Madani. 1996)
[8]
Sri Esti Wuryani
Djiwandono, Psikologi Pendidikan.
(Jakarata: Penerbit PT Grasindo. 2006), hlm.72-76.
[9]Wasty
Soemanto. Psikologi Pendidikan (Landasan
Kerja Pemimpin Pendidikan). ( Jakarta: Rineka Cipta. 2003). Hlm.67
[10]
Anas Sudijono. Pengantar Evaluasi Pendidikan. (Jakarta:
Rajawali Press. 2009), hlm.65-91
Tolong di perjelas kutipannya dari buku... terutama pada footnot 1.
BalasHapusTerima kasih.
trimakash telah membantu saya
BalasHapus