Rabu, 02 Januari 2013

PENDEKATAN PEMBELAJARAN NILAI DALAM PAI



A. Hakekat dan Tujuan Pendidikan Agama Islam
     Pendidikan Agama islam dapat diartikan sebagai usaha sadar, sistematis, berkelanjutan untuk mengembangkan potensi rasa agama, menanamkan sifat, dan memberikan kecakapan sesuai dengan tujuan pendidikan islam. Fungsi pendidikan di tinjau dari sudut pandang sosiologis dan antropologis adalah untuk menumbuhakan kreatifitas peserta didik. Karena itu tujuan akhir pendidikan islam adalah untuk mengembangkan potensi kreatif peserta didik untuk menjadi manusia yang baik menurut pandangan manusuia dan menurut pandangan agama islam.
Hakekat pendidikan islam adalah proses pemeliharaan dan penguatan sifat dan potensi insani sehingga menimbulkan kesadaran untuk menemukan kebenaran. Tujuan pendidikan islam adalah mengembangkan potensi peserta didik serta meningaktkan ketaqwaan pada Tuhan Yang Maha Esa dan membentuk karakter siswa yang menghargai dan menjunjung tinggi kebenaran.[1] Tujuan dari pendidikan islam tidak akan tercapai dengan baik jika proses penanaman nilai tidak dilakukan sedini mungkin.
 Proses penanaman nilai dalam pembelajaran PAI di kelas dapat dimulai dalam penyusunan dalam rencana pembelajaran atau RPP dengan menggunakan pendekatan pembelajaran nilai. Artinya, dalam proses pembelajaran guru harus mampu melibatkan emosi siswa secara aktif untuk menumbuhkan kesadaran tentang nilai-nilai moral. Dengan begitu, proses pembelajaran tidak hanya berkisar pada ranah kognitif semata, namun juga pada ranah psikomotorik dan afeksi yang pada akhirnya akan membentuk karakter siswa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

B. Pendekatan Pembelajaran Nilai
1.    Konsep Nilai
Nilai merupakan segala sesuatu yang dianggap bermakna bagi kehidupan seseorang yang dipertimbangkan berdasarkan kualitas benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah, yang orientasinya pada antroposentris dan heliosentris.[2] Menurut Kniker, nilai merupakan istilah yang tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan yang ditempatkan sebagai inti dari proses dan tujuan pendidikan. Dengan demikian hubungan antara nilai dan pendidikan sangat erat. Nilai dilibatkan dalam setiap tindakan pendidikan. Maka pendidikan nilai merupakan penanaman dan pengembangan nilia-nilai pada diri seseorang. Penanaman nilai yang dimaksud di sini tidak harus berupa program khusus. Pendidikan nilai berorientasi pada pembentukan karakter peserta didik agar mereka bermartabat dan berbudaya luhur dan  merupakan suatu program yang terintegrasi dalam semua mata pelajaran atau lembaga.
Tujuan dari pendidikan nilai adalah untuk mengarahkan pada pemenuhan kebutuhan peserta didik berkenaan dengan kepribadian dan karakter mereka yang tergantung pada nilai-nilai. Maka tujuan pendidikan nilai dapat diklasifikasikan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dari pendidikan nilai adalah membantu peserta didik untuk memahami, menyadari, dan mengalami nilai-nilai serta mampu menempatkannya secara integral dalam kehidupan. Sedangakan tujuan khusus dari pendidikan nilai adalah menerapkan pembentukan nilai pada anak, dan membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut.
2. Bentuk-bentuk Pendekatan Pembelajaran Nilai
Terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran nilai.
1)        Pendekatan pengembangan rasional, difokuskan pada peran rasio peserta didik dalam membedakan berbagai nilai berkaitan dengan perilaku baik-buruk.
2)        Pendekatan pertimbangan nilai moral, difokuskan untuk mendorong peserta didik membuat pertimbangan moral terkait masalah-masalah moral.
3)        Pendektan analisis nilai, membimbing siswa untuk berfikir logis dan sistematis dalam menyelesaikan suatu masalah yang mengandung nilai.
4)        Pendekatan Perilaku Sosial, dilakukan dengan cara guru memberikan stimulus dengan melibatkan siswa dalam kegiatan yang berkaitan dengan moral.
5)        Pendekatan Kognitif, dilakukan dengan cara mengajak peserta didik menganalisis masalah moral dan akan menjadi pengalaman mental sekaligus pemahaman dan pengetahuan baginya.
6)        Pendekatan Afektif, pendekatan ini memiliki konsep bahwa belajar sebagai upaya sadar individu untuk memperoleh perubahan perilaku secara keseluruhan, baik perubahan dalam aspek kognitif, afekif, dan psikomotorik.[3]

Nilai terbentuk melalui beberapa tahapan. Tahap pertama disebut juga dengan tahap reciving, pada tahap ini seseorang akan secara aktif dan sensitif menerima stimulus. Lalu pada tahap yang kedua, disebut juga dengan tahap responding dimana seseorang mulai bersedia menanggapi shatimulus dalam bentuk respon yang nyata. Tahap selanjutnya adalah tahap valuing dimana seseorang mulai mampu menyusun persepsi tentang nilai yang diterimanya. Tahap keempat adalah tahap orgnanization dimana seseorang mulai mampu mengorganisasikan nilai itu menjadi bagian dari dalam dirinya. Dan tahap yang terakhir adalah karakterisasi yaitu kemampuan seseorang untuk mengorganisasikan nilai dalam dirinya secara mapan, ajeg, dan konsisten.[4] Dapat disimpulkan bahwa nilai tidak terbentuk begitu saja, namun melalui beberapa tahapan. Untuk itu agar nilai dapat menyatu dengan karakter seseorang tidak dapat dilakukan secara instant, namun pembelajaran nilai harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan.


A.  Pembelajaran PAI dengan Pendekatan Nilai
Pembelajaran nilai tidak akan tercipta begitu saja tanpa adanya perencanaan yang baik. Dalam pembelajaran di kelas, pembelajaran nilai dimasukkan dalam setiap lini mata pelajaran, tidak terkecuali dalam PAI. Perencanaan ini dapat dimulai dengan menyusun RPP yang sedemikian rupa sehigga guru dapat merencanakan pemebalajaran yang diarahkan untuk membantu siswa memahami materi sekaligus menanamkan nilai-nilai moral. Dalam menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau RPP, banyak aspek yang harus diperhatikan oleh guru, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Langkah yang pertama dalam penyusunan rencana pembelajaran adalah merumuskan tujuan instruksional, yaitu rumusan pernyataan mengenai kemampuan atau tingkah laku yang diharapkan dimiliki siswa setelah mengikuti proses pembelajaran. Rumusan tujuan ini dibuat oleh guru, oleh karena itu guru harus memahami tiga hal pokok, yaitu:
a)        Guru harus mempelajari kurikulum sebab bahan yang diajarkan dan tujuan umum bahan tersebut terdapat dalam kurikulum khususnya GBPP.
b)        Memahami tipe-tipe hasil belajar siswa, diantaranya adalah tipe hasil belajar kognitif, afektif, dan psikomotorik.
c)        Cara merumuskan tujuan pengajaran, sehingga tujuan tersebut jelas isinya dan dapat dicapai oleh siswa.
Tujuan pengajaran terbagi menjadi dua yaitu tujuan isntruksional umum dan tujuan instruksional khusus. Yang dimaksud dengn tujua instruksional umum adalah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus disusun dengan melibatkan tiga ranah yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Prinsip dasar tujuan PAI adalah terbentuknya keyakinan atau hati nurani tentang nilai–nilai islam, sehingga fokusnya adalah pembentukan kemampuan afeksi. Diharapkan setelah siswa memahami muatan materi yang sifatnya kognitif, siswa dapat memahami dan menghayati nilai-nilai moral yang terkandung dalam materi ajar dan dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap selanjutnya, tugas guru adalah mengembangkan tujuan instruksional umum menjadi beberapa tujuan instruksional khusus atau indikator pembelajaran.
2.    Tujuan Instruksional khusus atau indikator pembelajaran
Tujuan instruksional khusus dibuat untuk satu kali tatap muka. Untuk menentukan berapa banyak kompetensi dasar yang ingin dicapai, sebaikanya guru memperhatikan beberapa aspek seperti:
a)        Luas dan dalamnya materi, artinya seberapa banyak jangkauan bahan yang akan diajarkan dan seberapa jauh kedalaman isi bahan tersebut.
b)        Waktu yang tersedian (sesuai dengan kurikulum)
c)        Sarana belajar dan tingkat kesulitan bahan dan pemahaman siswa.
Dalam perumusan indikator pembelajaran hendaknya mengandung berbagai hasil belajar yang dibedakan menjadi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hasil belajar kognitif berkenaan dengan aspek intelektual, seperti pengenalan, pemahaman, aplikasi, analisis, sistesis, dan evaluasi. Hasil belajaar afektif berkenaan dengan sikap, nilai, minat, perhatian, dll. Sedangkan hasil belajar psikomotrik menyangkut kegiatan praktek. Khususnya dalam PAI, pembelajaran hendaknya lebih diarahkan dalam pembentukan nilai. Namun dalam kenyataannya, hasil belajar yang dicapai oleh sekolah umumnya hanya mencakup aspek kognitif saja. Akibatnya  terjadi ketimpangan, banyak siswa yang memahami materi dari segi kognitif saja tanpa adanya implikasi terhadap sikapnya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh adalah dalam pembelajaran PAI tentang sikap jujur. Secara kognitif siswa mengetahui apa itu arti kejujuran, apa dampaknya ketika tidak jujur dan lain sebagainya. Namun dalam praktek kesehariannya siswa tidak berlakuk jujur dengan berbohong,  menipu dan lain sebagainya. Itu artinya guru hanya berhasil dibidang kognitif saja tanpa mampu memasukkan nilai-nilai kepada siswa. Untuk itu guru harus mampu membangkitkan kesadaran siswa dalam proses pembelajaran.
Terdapat beberapa syarat untuk merumuskan tujuan instruksional khusus atau indikator pembelajaran, yaitu pertama rumusan tujuan harus berpusat pada perubahan tingkah laku pada peserta didik. Kedua, rumusan tujuan pengajaran khusus harus berisikan kata kerja yang operasioanl yang dapat diukur pada saat itu juga. Kata kerja operasional untuk masing-masing ranah terbagi menjadi beberpa tingkatan. Hal ini menyesuaikan dengan tingkat kemampuan berfikir anak atau perkembangan kognisi anak. Dengan memperhatikan tingkatan perkembangan kognisi anak, guru dapat memilih meteri dan cara yang tepat untuk menyampaikan meteri tersebut.
            Ketiga, rumusan tujuan berisikan makna dari pokok bahasan yang akan diajrkan saat itu. Prinsip dasar tujuan PAI adalah terbentuknya keyakinan atau hati nurani tentang nilai–nilai islam, sehingga fokusnya adalah pembentukan kemampuan afeksi. Diharapkan setelah siswa memahami muatan materi yang sifatnya kognitif, siswa dapat memahami dan menghayati nilai-nilai moral yang terkandung dalam materi ajar dan dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3.   Materi Pembelajaran
Bahan pelajaran merupakan materi yang akan disampaikan pada siswa. Bahan pelajaran disusun setelah tujuan ditetapkan. Bahan pelajaran harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat menunjang tercapainya tujuan pengajaran. Sedangkan kegiatan belajar-mengajar ditetapkan sesuai dengan tujun dan bahan pelajaran. Dengan demikian harus ada kesinambungan antara tujuan, bahan pelajaran, dan kegiatan belajar-mengajar. Secara umum bahan pelajaran dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu fakta, konsep, prinsip dan keterampilan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menetapkan bahan pelajaran:
a)    Bahan harus sesuai dan menunjang tercapainya tujuan.
b)   Bahan yang ditulis dalam perencanaan mengajar sebatas konsep saja atau hanya berupa garis besarnya saja.
c)    Bahan pelajaran harus runtut sesuai dengan urutan tujuan yang hendak dicapai.
d)   Ada kesinambungan atau kontinuitas.
e)    Bahan disusun dari yang sederhana menuju yang kompleks.
Dalam pembelajaran PAI, hendaknya guru juga memperhatikan muatan nilai-nilai dalam materi yang hendak disampaikan. Artinya dalam menentukan isi materi guru, tidak hanya menyampaikan konsep semata namun juga menyampaikan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Secara umum pengetahuan tentang PAI bersifat informasi, yang sekaligus mengandung nilai, maka pembelajaran PAI harus mampu membawa siswa untuk memiliki esensi nilai dari seluruh materi PAI. Guru juga harus pandai-pandai memilih bahan pelajaran, tidak semua bahan pelajaran yang ada dalam buku teks harus disampaikan di muka kelas karena terbatasnya waktu yang tersedia. Cakupan materi PAI harus meliputi pengetahuan dan esensi nilai yang dapat memenuhi kebutuhan potensi-potensi manusia untuk berkembang. Potensi manusia tersebut terbagi menjadi beberapa bagian:[5]
a)    Ilahiyah, materi mencakup akidah, tasawuf, dan ilmu kalam.
b)   Abdiyah, meteri mencakup akidah, ibadah, al-Qur’an, dan Hadits.
c)    Khalifiyah, cakupan materi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan bahan pembentukan kesadaran dan kemampuan pelayanan umat manusia, misalnya muamalah.
d)   Jasadiyah, terkait dengan pengendalian dorongan egoistic (syahwat)
e)    Aqliyah, terkait dengan pengmbangan intelektual secara islami.
Terdapat dua cara dalam  mengorganisasikan bahan pelajaran, yang pertama membahas materi yang sifanya umum menuju ke khusus, artiya guru memeberikan gambaran secara umum materi, baru kemudian baru membahas materi secara lebih terperinci. Sedangkan cara yang kedua adalah membahas materi satu persatu secara terperinci, baru kemudian disampaikan kesimpulan secara umum. Pada umumnya, pendekatan yang pertama lebih berhasil, sebab siswa mengetahui gambaran materi secara keseluruhan dan mengetahui bahwa materi satu dengan yang lain saling berkesinambungan.
4.    Metode Pembelajaran
          Metode pembelajaran merupakan cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa. Oleh karena itu peranan metode mengajar sebagai alat untuk menciptakan proses mengajar dan belajar. Terdapat berbagai macam metode yang dapat digunakan oleh guru. Perlu diingat bahwa setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan, maka guru harus mampu mengkombinasikan antara metode satu dengan yang lainnya. Disinilah tugas guru untuk memilih berbagai metode yang tepat untuk menciptakan proses belajar mengajar. Ketepatan penggunaan metode mengajar tersebut sangat tergantung pada tujuan, isi proses belajar mengajar dan kegiatan belajar mengajar.[6] Ditinjau dari segi penerapannya, metode mengajar ada yang tepat digunakan untuk siswa dalam jumlah besar dan ada yang tepat digunakan dalam jumlah kecil. Banyak jenis metode mengajar yang dapat digunakan, diantaranya: metode ceramah, metode tanya jawab, metode diskusi, metode tugas belajar, metode demonstrasi, metode kerja kelompok, metode role playing, dan lain sebagainya.
     Kombinasi antara dua atau tiga jenis metode mengajar merupakan suatu keharusan dalam proses belajar-mengajar. Seperti yang kita tahu, dalam kegiatan belajar-mengajar, terbagi menjadi tiga segmen yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup atau evaluasi. Maka dalam rencana pembelajaran, hendaknya guru menuliskan secara terperinci tentang metode yang akan digunakan pada setiap segmen tersebut beserta ranah belajar yang ingin dicapai. Misalnya, dalam kegiatan pendahuluan guru menuliskan metode yang akan digunakan adalah metode ceramah dan ranah belajar yang ingin dicapai adalah ranah kognitif karena pada segmen ini guru menyampaikan materi pada pertemuan sebelumnya dan mengkorelasikan dengan materi yang akan disampaikan pada pertemuan kali ini.

5.    Strategi Pembelajaran         
     Strategi mengajar merupakan tindakan nyata dari guru atau praktek guru melaksanakan pengajaran melalui cara tertentu, yang dinilai lebih efektif dan efisisen. Dengan kata lain, strategi mengajar merupakan cara yang digunakan guru dalam praktik mengajar. Dalam menentukan strategi mengajar terdapat tiga hal yang harus diperhatikan, yang pertama adalah tahapan mengajar, model atau pendekatan dalam mengajar, serta penggunaan prinsip mengajar.[7]
Banyak jenis yang strategi yang dapat digunakan oleh guru, misalnya jenis-jenis strategi yang dirumuskan oleh Melvin L. Silberman dalam Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subjects. Strategi belajar yang ditawarkan adalah jenis strategi yang mengaktifkan siswa dalam arti strategi yang melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Siswa tidak dihanya diposisikan sebagai objek pembelajaran namun sebagai subjek pembelajaran. Jenis strategi lain yang dapat digunakan oleh guru adalah strategi CTL atau Contectual Teaching and Learning.

6.    Kegiatan Pembelajaran
              Pada umumnya, kegiatan pembelajaran terdiri dari tiga tahapan. Yaitu tahap prainstruksional, tahap instksional, dan tahap evaluasi. Pada tahap prainstruksional, hal yang harus dilakukan oleh guru adalah menghubungkan materi pada pertemuan sebelumnya dengan materi pada pertamuan ini. Maka pada awal pertemuan sebaiknya memberikan beberapa pertanyaan terkait materi yang telah diberikan untuk mengukur seberapa jauh pemahaman siswa dan seberapa jauh tingkat keberhasilan guru dalam menyampaikan informasi.
              Tahap yang kedua adalah tahapan instruksional atau kegiatan inti. Pada tahap ini guru menyampaikan materi pembelajaran sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan dalam rencana pembelajaran. Dalam pembelajaran PAI, alangkah lebih baiknya sebelum meyampaikan materi, guru mengajak siswa untuk melakukan refleksi. Misalnya materi yang akan disampaikan adalah zakat, maka sebelum guru menyampaiakan materi tentang zakat, guru membangkitkan kesadaran siswa tentang nikmat dan rahmat yang telah diberikan Allah atau diberikan gambaran tentang orang-orang yang hidup dalam kemiskinan. Lalu siswa diajak untuk mensyukuri nikmat yang telah mereka terima selama ini dengan menolong orang-oarng yang membutuhkan melalui program zakat sehingga anak tidak hanya mengetahui konsep zakat secara teori, namun anak juga paham betul tentang nilai-nilai positif dari zakat. Itif Dengan begitu, materi tidak hanya berkisar pada ranah kognitif saja, namun juga pada ranah afeksi.
               Dalam penyampaian materi, sebaiknya guru memperhatikan tingkat perkembangan kognisi siswa. Secara umum Piaget membagi tahapan perkembangan kognisi anak menjadi beberapa tingkatan:[8]
a)    Periode sensori motor (0-2 tahun) tahap penguatan fungsi indra
b)   Periode preconceptual (2-4 tahun) tahap pemikiran awal
c)    Periode Praoperational (4-7 tahun) tahap pemikiran imajinatif
d)   Periode Concrete Operational (7-11 tahun) tahap berfikir konkrit
e)    Periode Formal Operation (11 tahun keatas) tahap berfikir abstrak
dalam setiap tahap, anak memiliki cara berfikir yang berbeda. Maka sudah tentu cara penyampaian materi yang digunakan guru berbeda antara mengajar anak usia sekolah dasar dengan anak usia sekolah menengah atas. Guru harus dengan tepat menyesuaikan bahan pengajaran yang kompleks dengan tahap perkembangan anak, artinya guru harus sering menunggu tahap perkembangan anak ang tepat untuk menyampaikan bahan tertentu kepadanya.[9]
            Tahap yang terakhir adalah tahap evaluasi. Pada tahap ini melakukan evaluasi terhadap materi yang telah disampaikan. Untuk mengukur pemahaman siswa, guru dapat memberikan sejumlah pertanyaan. Sebelum pambelajaran ditutup, guru dapat mengajak siswa untuk melakukan refleksi kembali. Misalnya dengan memberikan gambaran kepada siswa bahwa zakat itu ringan dan guru dapat mengajak siswa untuk melakukan zakat sabesar 2,5% dari uang sakunya.
7. Evaluasi
              Dalam menyusun RPP, salah satu hal yang harus dilakukan oleh guru adalah melakukan penilaian atau evaluasi. Penilaian hasil belajar berfungsi untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pembelajaran serta untuk mengetahui keefektifitasan proses belajar mengajar. Sacara umum, penilaian dapat dilakukan melalui tes ataupun nontes. Penilaian dengan tes dapat dilakukan dengan tes tertulis maupun tes secara lisan. Sedangkan penilaian dengan nontes dapat dilakukan melalui pengamatan, wawancara, angket, studi kasus, rating scale dan lain sebagainya.[10]
              Dalam menentukan instrumen penilaian sebaiknya memperhatikan aspek yang akan dinilai. Artinya soal yang diberikan semata-mata tidak hanya mencakup aspek kognisi saja, namun seimbang antara kognisi, afeksi dan psikomotorik. Akan lebih baik jika instrumen penilaian yang digunakan dapat digunakan mendiagnosis, atau mencari kelemahan siswa dalam belajar dan kelemahan guru dalam mengajar. Idealnya hasil penilaian tersebut mencerminkan tingkat pemahaman siswa.
8. Media dan Sumber Belajar
              Media merupkan sarana yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Dengan penggunaan media, diharapkan dapat menunjang proses pembelajaran. Dalam pembelajaran PAI, sarana yang digunakan menysuaikan dengan materi yang disampaikan. Media dapat juga berupa alat peraga. Alat peraga disediakan dalam rangka mewujudkan situasi belajar yang efektif. Sehingga penyampaian materi tidak hanya secara verbal yang sifatnya abstrak, namun juga akan membantu anak memahami materi tertentu secara konkrit. Guru juga perlu mencantumkan sumber belajar yang digunakan secara jelas.

D. Strategi Pembelajaran Nilai dalam PAI
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan mengajar dengan menggunakan pendekatan pembelajaran nilai dalam PAI. Agar perencaan tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka guru harus mampu menjalin kerjasama yang baik dengan peserta didik. Pembelajaran  nilai tidak hanya semata-mata membahas tentang konsep, namun lebih mengutamakan praktik nyata dalam kehidupan sehar-hari.
            Agar pembelajaran nilai tersebut dapat berhasil dengan efektif dan utuh, maka  pendidikan perlu menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Pertama, desain pendidikan nilai berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Maka akan lebih baik jika guru memberikan contoh perilaku yang nyata dalam kehidupan sehari-hari terhadap siswa sehingga nilai-nilai moral yang diajarkan akan mudah dicontoh dan diteladani siswa.
Kedua, desain pendidikan nilai berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Pesan moral mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap pelanggaran.
Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan nilai dalam konteks kehidupan mereka. Pendidikan nilai hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan nilai ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpa basis ini, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, tidak konsisten, dan tidak efektif.


[1]HM.Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996). Hlm73.

[2] Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai.(Bandung:Alfabeta.2004) hlm 117-118
[3] Maksudin. ‘ Pendidikan Nilai komprehensif..’. hlm26-27
[4] HM.Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996). Hlm71-72.
[5] Materi dalam mata kuliah Psikologi Belajar PAI, disampaikan oleh Dra. Susilaningsih, MA pada tanggal 9 Mei 2012.
[6] Nana Sudjana. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. (Bandung: Penerbit Sinar Baru Algesindo.2010) hlm.76-78
[7] Melvin L. Silberman, Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subjects. (Yogyakarta: Pustaka Insani Madani. 1996)
[8] Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan. (Jakarata: Penerbit PT Grasindo. 2006), hlm.72-76.
[9]Wasty Soemanto. Psikologi Pendidikan (Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan). ( Jakarta: Rineka Cipta. 2003). Hlm.67
[10] Anas Sudijono. Pengantar Evaluasi Pendidikan. (Jakarta: Rajawali Press. 2009), hlm.65-91

2 komentar:

  1. Tolong di perjelas kutipannya dari buku... terutama pada footnot 1.
    Terima kasih.

    BalasHapus
  2. trimakash telah membantu saya

    BalasHapus