Sabtu, 05 Januari 2013

Sosiologi Pendidikan: Perilaku Kolektif dan Perilaku Menyimpang



  1. Pengertian Perilaku Menyimpang
            Perilaku menyimpang dapat didefinisikan sebagai perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat atau kelompok tertentu di dalam masyarakat.[1] Robert MZ.Lawang berpendapat bahwa perilaku menyimpang adalah tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari pihak berwenang untuk memperbaiki perilaku yang menyimpang tersebut.
            Penyimpangan adalah perbuatan yang mengabaikan norma dan penyimpangan ini terjadi jika seseorang auat sebuah kelompok tidak mematuhi patokan baku di dalam masyarakat. Para sosiolog menggunakan istilah penyimpangan (deviance) untuk merujuk pada tiap pelanggaran norma, mulai dari pelanggaran sekecil hingga bentuk penyimpangan yang sifatnya kompleks.[2]
            Batasan perilaku menyimpang ditentukan oleh norma-norma kemasyarakatan yang berlaku dalam suatu kebudayaan. Jadi, suatu tindakan yang mungkin pantas dan diterima dalam suatu situasi, mungkin tidak pantas diterapkan dalam situai lainnya. Anggapan tentang suatu perilaku menyimpang dapat berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
  1. Teori-teori Penyimpangan
Beberapa teori penyimpangan, antara lain[3]:
1.      Teori Differential Association
Dikemukakan oleh Edwin H. Suterland yang berpendapat bahwa penyimpangan bersumber pada pergaulan yang berbeda. Penyimpangan dipelajari melalui proses alih budaya. Misal, perilaku homoseksual.
2.      Teori Labelling
Dikemukakan oleh Edwin M.Lemerd, bahwa seseorang yang telah melakukan penyimpangan pada tahap primer, lalu oleh masyarakat diberikan cap sebagai penyimpang, maka orang tersebut terdorong untuk melakukan penyimpangan sekunder dengan alasan “kepalang tanggung”.
3.      Teori Merton
Dikemukakan oleh Robert K. Merton, bahwa perilaku penyimpangan merupakan bentuk adaptasi terhadap situasi tertentu. Cara beradaptasi tersebut terbagi menjadi lima:
a.       Konformitas: perilaku yang mengikuti tujuan dan cara yang ditentukan masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut atau dengan cara yang konvensional dan melembaga.
b.      Inovasi : perilaku yang mengikuti tujuan yang ditentukan oleh masyarakat tetapi memakai cara yang dilarang oleh masyarakat.
c.       Ritualisme:perilaku yang telah meninggalkan tujuan budaya, akan tetapi tetap menggunakan cara-cara yang digariskan oleh masyarakat. Contoh: upacara adat yang masih dilaksanakan, tetapi maknanya telah hilang.
d.      Retretisme:perilaku yang meninggalkan baik tujuan konvensional maupun cara pencapaiannya. Contoh: pecandu narkoba, pemabuk,dll.
e.       Rebellion:penarikan diri dari tujuan dan cara-cara konvensional yang disertai dengan upaya untuk melembagakan tujuan dan cara baru. Contoh: para reformator agama.
4.      Teori Fungsi
Dikemukakan oleh Emile Durkheim, bahwa kesadaran moral dari semua masyarakat adalah karena faktor keturunan, perbedaan lingkungan, fisik dan lingkungan sosial. Ia juga berpendapat bahwa kejahatan itu perlu, sebab agar moralitas dan hukum dapat berkembang dengan moral.
C.Faktor-faktor Penyebab Perilaku Menyimpang[4]
Perilaku menyimpang biasanya disebabkan oleh beberapa faktor penyebab, antara lain:
a.   Sikap Mental Yang Tidak Sehat.
Perilaku dapat disebabkan karena sikap mental yang tidak sehat. Sikap itu ditunjukkan dengan tidak merasa bersalah atau menyesal atas perbuatannya, bahkan merasa senang. Misal: profesi melacur.
b.  Ketidakharmonisan Dalam Keluarga.
Tidak adanya keharmonisan dalam keluarga dapat menjadi penyebab terjadinya perilaku menyimpang. Misal: kalangan remaja yang menggunakan obat-obat terlarang karena faktor broken home.
c.   Pelampiasan Rasa Kecewa.
Seseorang yang mengalami kekecewaan apabila tidak dapat mengalihkan ke hal yang positif, maka ia akan berusaha mencari pelarian untuk memuaskan rasa kecewanya teresbut. Misal: bunuh diri.
d.  Dorongan Kebutuhan Ekonomi.
e.   Pengaruh Lingkungan Dan Media Massa.
f.   Keinginan Untuk Dipuji.
Seseorang dapat bertindak menyimpang karena keinginan untuk mendapat pujian, seperti seseorag yang menginginkan kehidupan yang mewah. Agar keinginannya terwujud, ia rela melakukan perilaku yang menyimpang seperti korupsi, menjual diri dan merampok.
g.  Proses Belajar Yang Menyimpang.
Hal ini dapat terjadi melalui interaksi sosial dengan orang-orang yang berperilaku menyimpang.
h.  Adanya ikatan Sosial yang Berlainan.
Seseorang individu cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang paling ia hargai dan akan lebih senang bergaul dengan kelompok itu daripada dengan kelompok lainnya. Dalam proses ini, individu akan  memperoleh pola sikap dan perilaku kelompoknya. Jika kelompok yang digauli menyimpang, kemungkinan besar individu tersebut akan berperilaku menyimpang juga.
i.    Proses Sosialisasi Nilai-nilai Subkebudayaan Menyimpang
Perilaku menyimpang yang terjadi dalam masyarakat dapat disebabkan karena seseorang memilih nilai subkebudayaan yang  menyimpang, yaitu sub kebudayaan khusus yang normanya bertentangan dengan norma budaya yang dominan.
j.    Ketidaksanggupan Menyerap Norma
Ketidaksanggupan untuk menyerap norma ke dalam kepribadian seseorang diakibatkan karena ia mempelajari proses sosialisasi yang tidak sempurna, sehingga ia tidak sanggup menjalankan perannya sesuai dengan perilaku yang diharapkan oleh masyarakat.
Kepribadian yang menyimpang dalam diri seseorang dapat terbentuk karena adanya media pencetus yang dapat mendororng terbentuknya kepribadian menyimpang itu. Media pembentukan kepribadian yang menyimpang antara lain:
keluarga, lingkungan tempat tinggal, kelompok bermain dan media massa
D.    Bentuk-bentuk Perilaku yang Menyimpang
1.      Penyimpangan Primer
Penyimpanagn primer merupakan penyimpangan yang bersifat temporer atau sementara dan hanya menguasai sebagian kecil kehidupan seseorang. Cirinya adalah bersifat sementara, gaya hidupnya tidak didominasi oleh perilaku menyimpang dan masyarakat masih mentolerir/menerima.
2.      Penyiimpangan Sekunder
Merupakan perbuatan yang dilakukan secara khas dengan memperlihatkan perilaku menyimpang. Ciri penyimpangan sekunder adalah gaya hidupnya didominasi oleh perilaku menyimpang dan masyarakat tidak bisa mentolerir perilaku menyimpang tersebut.
3.      Penyimpangan Individu
Adalah penyimpangan yang dilakukan oleh seorang individu dengan melakukan tindakan-tindakan yagn menyimpang dari norma-norma yang berlaku.
4.      Penyimpangan Kelompok
Merupakan penyimpangan yang dilakukan secara berkelompok dengan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku.

5.      Penyimpangan Situasional
Penyimpangan ini disebabkan oleh pengaruh bermacam-macam kekuatan situasional/sosial diluar individu dan memaksa individu tersebut untuk berbuat menyimpang. Contoh: seorang suami terpaksa melakukan pencurian karena tidak tahan melihat anak istrinya kelaparan.
6.      Penyimpangan Sistematik
Merupakan suatu system tingkah laku yang disertai organisasi sosial khusus, status formal, peran-peran, nilai, norma dan moral tertentu yang semua berbeda dengan situasi umum. Segal fikiran dan perbuatan menyimpang itu kemudian dibenarkan oleh semua anggota kelompok. Contoh: dalam sebuah geng terdapat aturan-aturan tertentu yang biasanya harus dipatuhi semua anggotanya.
7.      Penyimpangan Positif
Merupakan bentuk peyimpangan yang mempunyai dampak positif karena mengandung unsure inovatif, kreatif dan memperkaya alternative. Jadi penyimpangan positif merupakan penyimpangan yang terarah pada nilai-nilai sosial yang didambakan, meskipun cara yang dilakuakan tampaknya menyimpang dari norma yang berlaku. Contoh: ibu rumah tangga dengan terpasa menjadi sopir angkot karena desakan ekonomi.
8.      Penyimpangan Negatif
Merupakan penyimpangan yang cenderung bertindak kea rah nilai-nilai sosial yang dipandang rendah dan berakibat buruk. Dalam penyimpangan negatif, tindakan yang dilakukan akan dicela oleh masyarakat dan pelakukanya akan tidak dapat ditolerir oleh masyarakat.
Menurut Dwi Narwoko, yang termasuk dalam perilaku menyimpang adalah
a.       Tindakan non-conform (yang tidak sesuai dengan nilai dan norma)
b.      Tindakan anti sosial (tindakan yang melawan kebiasaan masyarakat)
c.       Tindakan criminal, tindakan melanggar hukum tertulis, melanggar norma serta tindakan yang mebahayakan jiwa.[5]
  1. Pengertian Perilaku Kolektif
    Perilaku kolektif tidaklah selalu diartikan sebagai sesuatu yang buruk, walaupun biasanya dampaknya akan muncul sesuatu yang merugikan bagi pihak lain. Perilaku kolektif bisa saja berupa perilaku yang memiliki tujuan baik, tetapi dilakukan diluar aturan yang ada misalnya pada saat nasabah bank menarik secara bersama-sama uang yang disimpan di bank yang akan  dilikuidasi. Selanjutnya arti sebenarnya dari perilaku kolektif ini bisa dikatakan sebagai perilaku yang menyimpang yaitu perilaku yang berada diluar aturan atau institusi tetapi  dilakukan oleh sejumlah orang.[6]
Tetapi kenyataanya banyak perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan  aturan yang ada dalam masyarakat. Apabila perilaku tersebut dilakukan oleh individu tertentu maka itulah yang dinamakan dengan perilaku menyimpang, tapi kalau dilakukan oleh sekelompok individu maka dinamakan dengan perilaku kolektif.
Definisi perilaku kolektif seperti ditulis Yusron Razak (editor) dalam Sosiologi Sebuah Pengantar adalah sebagai berikut, Horton dan Hunt berpendapat bahwa perilaku kolektif ialah mobilisasi berlandaskan pandangan yang mendefinisikan kembali tindakan sosial, menurut Milgran dan Touch ialah suatu perilaku yang lahir secara spontan, relatif, tidak terorganisasi serta hampir tidak bisa diduga sebelumnya, proses kelanjutannya tidak terencana dan hanya tergantung pada stimulasi timbal balik yang muncul dikalangan para pelakunya, dan senada pula dengan pendapat Robetson .
Dari contoh-contoh tersebut diatas  bisa disimpulkan yang dimaksud dengan  prilaku kolektif biasanya memiliki ciri:
a.       Dilakukan bersama oleh sejumlah orang..
b.      Tidak bersifat rutin.
c.       Bersifat spontanitas dan tidak terstruktur.
d.      Dipacu oleh rangsangan tertentu.
  1. Faktor Penentu Perilaku Kolektif
Perilaku kolektif bisa terjadi dalam masyarakat mana saja baik masyarakat yang masih sederhana maupun masyarakat yang sudah sangat kompleks. Menurut teori Le Bon perilaku kolektif ditentukan oleh enam faktor yang berlangsung secara berurutan, yaitu[7]:
a.       Situasi Sosial
Situasi sosial sebagian merupakan kekuatan alam diluar kekuatan manusia, sebagian lagi merupakan faktor yang terkait dengan ada tidaknya pengaturan melalui institusi sosial. Misalnya apabila dana nasabah bank tidak dilindungi hukum, maka nasabah akan lebih mudah terpicu untuk beramai-ramai menarik dananya apabila ada berita bank akan di likuidasi.
b.      Ketegangan structural
Kesenjangan dan ketidak serasian antar kelompok  sosial, etik, agama dan ekonomi yang bermukim berdekatan memungkinkan terjadinya ketegangan.
c.       Berkembang dan menyebarnya suatu kepercayaan umum,
Misalnya desas-desus, isu, kabar tertentu tentang penghinaan agama, proses pemilian pejabat, penghitungan suara pemilu  dapat memacu perilaku kolektif
d.      Faktor yang mendahului
Merupakan faktor penunjang kecurigaan dan kecemasan yang dikandung masyarakat. Desas-desus yang berkembag dan dipercayai itu memperoleh penegasan. Misalnya isu BBM naik ternyata benar semakin mendorong perilaku kolektif dll.
e.       Mobilisasi para peserta untuk melakukan tindakan
perilaku kolektif akan terwujud apabila khalayak dimobilisasikan oleh pimpinan untuk bertindak.
f.       Berlangsungnya suatu pengendalian sosial
Merupakan suatu kekuatan yang dapat mencegah, menganggu ataupun menghambat ke 5 faktor diatas. Misalnya kehadiran aparat keamanan atau tokoh masyarakat yang disegani.
Dari keenam faktor tersebut merupakan satu rangkaian, artinya faktor penentu dari perilaku kolektif, itu bisa terjadi satu rangkian yang berurutan.
  1. Bentuk Perilaku Kolektif
Perilaku kolektif merupakan perilaku menyimpang namun perilaku kolektif ni merupakan tindakan bersama oleh sejumlah besar orang, bukan tindakan individu semata. Bila seseorang melakukan pencurian, hal tersebut dapat dikatakan sebagai perilaku menyimpang. Namun bila tindakan pencurian itu dilakukan oleh sejumlah besar orang secara bersama-sama, dapat dikatakan sebagai perilaku kolektif.
Perusakan tempat ibadah, perkelahian masal antar pelajar, pencurian besat-besaran, huru-hara dalam kampanye pemilihan umum merupakan perilaku bersama yang hanya terjadi sewaktu-waktu. Oleh sebab itu, dikatakan oleh Kornblum bahwa perilaku kolekti merupakan perilaku yang tidak rutin.


[1] Bruce J. Coehan. Sosiologi: Suatu pengantar.(Jakarta: Rineka Cipta. 1992). Hal. 218.
[2] James M. Henslin. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi(Jakarta: Erlangga. 2007).hal.148.
[3] ibid,.hal.154
[4] Bruce J. Coehan. Sosiologi: Suatu pengantar.(Jakarta: Rineka Cipta. 1992). Hal. 221.
[5] Dwi Narwoko. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta. Kencana. 2007. hal.101
[6] Kamanto Sunarto. Pengantar Sosiologi. Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004. hal 196.
[7] Ibid., hal.202

Tidak ada komentar:

Posting Komentar