Secara
sosiologis, masyarakat dan kepemimpinan merupakan dua istilah yang tidak dapat
dipisahkan. Syari’ati berkeyakinan bahwa ketiadaan kepemimpinan menjadi sumber
munculnya problem-problem masyarakat, bahkan masalah kemanusiaan secara umum.
Menurut Syari’ati pemimpin adalah pahlawan, idola, dan insan kamil, tanpa
pemimpin umat manusia akan mengalami disorientasi dan alienasi.
Ketika suatu
masyarakat membutuhkan seorang pemimpin, maka seorang yang paham akan realitas
masyarakatlah yang pantas mengemban amanah kepemimpinan tersebut. Pemimpin
tersebut harus dapat membawa masyarakat menuju kesempurnaan yang sesungguhnya.
Watak manusia yang bermasyarakat ini merupakan kelanjutan dari karakter
individu yang menginginkan perkembangan dirinya menuju pada kesempurnaan yang
lebih.
Kepemimpinan itu wajib ada, baik
secara syar’i ataupun secara ‘aqli. Adapun secara syar’i misalnya tersirat
dari firman Allah tentang doa orang-orang yang selamat. “Dan jadikanlah
kami sebagai imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa” [QS
Al-Furqan : 74].
Rasulullah
saw bersabda dalam sebuah hadits yang sangat terkenal : “Setiap dari kalian
adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya tentang
kepemimpinannya”. Terdapat pula sebuah hadits yang menyatakan wajibnya
menunjuk seorang pemimpin perjalanan diantara tiga orang yang melakukan suatu
perjalanan. Adapun secara ‘aqli, suatu tatanan tanpa kepemimpinan pasti akan
rusak dan porak poranda.Karena
seorang pemimpin merupakan khalifah (pengganti) Allah di muka bumi, maka dia
harus bisa berfungsi sebagai kepanjangan tangan-Nya.
Bekal pemahaman (ilmu dan hikmah) bagi seorang pemimpin
merupakan bekal paling esensial yang mesti ada. Bekal ini bersifat soft,
yang karenanya membutuhkan hardware agar bisa berdaya. Hukm
berarti jelas dalam melihat yang samar-samar dan bisa melihat segala sesuatu
sampai kepada hakikatnya, sehingga bisa memutuskan untuk meletakkan segala
sesuatu pada tempatnya (porsinya). Atas dasar ini, secara sederhana hukm
biasa diartikan sebagai pemutusan perkara (pengadilan, al-qadha’).
Adanya hukm pada diri Dawud, Sulaiman, dan Yusuf merupakan kriteria al-quwwat,
yang berarti bahwa mereka memiliki kepiawaian dalam memutuskan perkara
(perselisihan) secara cemerlang. Al-quwwat pada diri mereka berwujud
dalam bentuk ini karena pada saat itu aspek inilah yang sangat dibutuhkan.
Ketika
Rasulullah SAW wafat, maka tidaklah mungkin beliau meninggalkan umatnya tanpa
seorang pemimpin, yang mana telah beliau didik untuk sampai pada pengetahuan
akan realitas alam semesta ini, dan juga realitas dari ayat-ayat Allah SWT.
Karena tingkat kwalitas pengetahuan manusia yang berbeda-beda, juga masih
adanya manusia yang belum mengetahui makna dari ayat-ayat Allah SWT, dan juga
masih ada manusia yang belum mengetahui, memahami tujuan hidupnya, maka
Rasulullah SAW atas perintah Allah SWT pastilah memilih seorang dari ummat
Islam untuk menjadi pemimpin.
Pemimpin
tersebut harus memiliki tingkat pengetahuan yang sama dengan Rasulullah SAW,
dan juga pemimpin tersebut harus bebas dari segala bentuk dosa kecil apalagi
besar (ma’sum). Akan tetapi ia bukanlah menjadi seorang nabi, karena tidak
ada risalah baru yang disampaikan. Islam telah menjadi agama yang sempurna,
namun masih di butuhkan orang yang dapat menjaga risalah Islam dan membuat
ummat Islam mudah untuk mencapai tujuannya. Tugas seorang pemimpin ini adalah
mengawasi, memimpin, dan memperhatikan ummat Islam.
Terdapat
perbedaan antara seorang pemimpin dan nabi. Nabi itu bertugas sebagai
pemandu, pembimbing, serta juga memberikan sarana untuk melintasi jalan dalam
mencapai tujuan. Sedangkan pemimpin adalah orang yang membuat pengikutnya
mudah untuk mencapai tujuan, mengawasi, memimpin, dan memperhatikan ummat
Islam. Disamping al-hukm sebagai kriteria kedua (al-quwwat),
ketiga orang tersebut juga memiliki bekal al-‘ilm sebagai kriteria
pertama (al-‘ilm). Jadi, lengkaplah sudah kriteria kepemimpinan pada
diri mereka.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar