- Pendahuluan
Salah satu
gejala modern dalam masalah pembentukan keluarga adalah adanya keinginan
individu menikah dengan orang yang beda agama. Keluarga beda agama menjadi suatu
permasalahan tersendiri apabila menyangkut permasalahan pendidikan keagamaan anak.
Terlebih apabila anak sudah memasuki usia remaja yang merupakan masa krisis identitas. Sebab pada masa ini
merupakan masa peralihan dari anak-anak menju dewasa.
Perkembangan
remaja sangat pesat. Secara fisik dia sudah tampak seperti fisik orang dewasa
pada umumnya, namun secara psikologis terkadang remaja belum mampu bersikap
dewasa. Dalam kondisi yang tidak seimbang ini, remaja membutuhkan agama sebagai
tempat bergantung.[1] Remaja
membutuhkan agama sebagai filter dalam pergaulannya untuk membedakan mana yang benar
dan mana yang salah. Namun apa yang terjadi bila agama yang seharusnya menjadi
filter tersebut justru menuai ketidakpastian sebab anak masih merasa bimbang
untuk memilih, apakah dia akan mengikuti agama yang di anut oleh ayahnya atau agama
ibunya yang berbeda.
Tingkat
keyakinan dan ketaatan beragama seseorang dapat dilihat dari kemampuannya untuk
menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam dirinya.[2]
Ketika menghadapi kondisi yang bimbang dalam memahami ajaran agamanya, seorang
remaja berusaha untuk menemukan pemecahan masalahannya baik melalui pendapat
orang lain ataupun oleh dirinya sendiri.[3]
Namun jika
anak tidak menemukan pemecahan yang tepat dari permaslahan keagamaannya
tersebut, bisa saja dia menjadi anak yang membangkang terhadap ajaran agamanya
atau bahkan meninggalkan agamanya dan mencari kepercayan lain yang dianggapnya
lebih sesuai. Dalam kasus keluarga beda agama misalnya, ketika anak sudah
memilih agama seperti yang dianut oleh ibunya, bisa jadi suatu ketika dia
merasa ragu akan kebenaran ajarannya dan berniat untuk berpindah agama seperti
agama yang dianut oleh ayahnya dan begitu pula sebaliknya.
Secara umum
keluarga beda agama mempunyai dua sisi positif yaitu adanya toleransi teradap
anggota keluarga lain yang beda agama dan demokratis dalam kehidupan agama. Namun
keluarga beda agama juga mempunyai sisi negatif yaitu adanya kompetisi
terselubung, masing-masing orang tua dalam hati kecil menginginkan agar anak
nantinya mengikuti agama yang dianutnya.[4]
Dari keinginan seperti inilah yang akan
menyebabkan munculnya kebimbangan rasa agama anak yang terlahir dalam keluarga
beda agama.
B. Kasus: Religious Doubt pada
Remaja dalam Keluarga Beda Agama
Religious
doubt atau kebimbangan rasa agama bisa terjadi di usia remaja. Kebimbangan ini
timbul timbul karena banyak faktor. Salah satunya adalah adanya kawan atau
keluarga yang beda agama. Penulis menemukan kasus seperti ini pada seorang anak
remaja berusia kurang lebih lima belas tahun. Anak ini terlahir dari sebuah
keluarga beda agama. Ibunya adalah seorang muslim dan ayahnya seorang
kristiani. Ketika menikah, kedua orang tuanya memutuskan untuk tetap berpagang
teguh pada ajaran agamanya masing-masing dan tidak ada pihak yang berpindah
agama.
Anak
ini mengaku kedua orang tuanya sama-sama mengajarkan doktrin agama
masing-masing kepadanya. Ia sering di ajak ke gereja oleh ayahnya dan dia pun
juga rajin mengikuti TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) dan pengajian bersama
ibunya di masjid. Hal ini terus berlangsung hingga ia tamat SD. Menurut
teman-temannya, menganut dua agama sekaligus merupakan suatu bentuk
penyimpangan beragama. Ia mulai merasa ragu, agama yang mana yang akan ia anut?
Selama ini yang ia tahu adalah agama dari kedua orang tuanya itu sama-sama
mengajarkan tentang kebajikan.
Sebenarnya,
kedua orang tua anak ini memberikan kebebasan padanya untuk memilih agamanya
sendiri. Namun karena selama ini si anak memiliki hubungan yang lebih dekat
dengan ibunya dari pada hubungannya dengan ayah, maka ia memutuskan untuk masuk
islam. Ayahnya tidak mempermasalahkan hal ini dan dapat menerima keputusan si
anak dengan baik.
Satu
persoalan telah teratasi, namun sebagai seorang remaja yang kognisinya sedang
berkembang, kebimbangan itu muncul lagi terhadap agama yang telah dipilihnya.
Ia mengaku sempat ragu apakah agama islam yang dipilihnya ini adalah jalan yang
benar atau bukan. Ia juga meragukan kebenaran al-Qur’an dan tidak tahu untuk
apa al-Qur’an itu karena pengetahuannya masih terbatas. Dalam kondisi yang bimbang
ini, si anak mendapat ajakan dari ayahnya untuk berpindah agama dan mengikuti
agama kristen. Ayahnya yang semula bersikap netral mulai berubah dan berupaya
meyakinkan anaknya bahwa agama yang ia anut adalah benar serta meminta agar
anaknya berpindah agama.
Ia berusaha mengatasi
kebimbangannya dengan bertanya pada guru PAI di sekolahnya. Guru PAI yang
mengetahui latar belakang keluarga anak ini, berusaha melakukan pendekatan dan
memberikan banyak pengetahuan agama. Sedikit rasa keingintahuannya telah terobati
dan ia pun kembali yakin akan pilihannya masuk islam. Hingga saat ini, si anak
tetap menjadi seorang muslim dan taat beribadah.
C.
Analisis Kasus
Sebuah keluarga memang seharusnya dibangun atas
dasar akidah atau keyakinan yang sama. Keluarga beda agama mempunyai implikasi
terhadap keberagamaan keluarga terutama terhadap anaknya. Mungkin banyak kasus
keluarga beda agama yang kita temui di sekeliling kita. Baik disadari maupun
tidak, besar atau kecil, perebutan pengaruh dari kedua orang tua agar si anak
mengikuti ajaran mereka akan tetap ada. Hal semacam ini dapat mengakibatkan
munculnya kebimbangan rasa agama pada anak.
Religiou Doubt atau
kebimbangan rasa agama akan menjurus pada munculnya konflik dalam diri pada
remaja, sehingga mereka dihadapkan pada pemilihan antara mana yang baik dan
buruk, atau yang benar dan salah. Konflik tersebut dapat berupa[5]:
- Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu.
- Konflik yang terjadi antara pemilihan satu diantara dua agama atau ide keagamaan serta lembaga keagamaan.
- Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama dan sekularisme.
- Konflik ayng terjadi antara melepaskan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan pada petunjuk ilahi.
Dari kasus dalam pembahasan
poin B di atas, dapat disimpulkan bahwa anak remaja dari keluarga beda agama
tersebut mengalami dua kebimbangan rasa agama yang mengarah pada suatu konflik
dalam dirinya.
a. Yang
pertama adalah konflik yang terjadi antara pemilihan satu diantara dua agama.
Hal ini dirasakannya ketika dia dicerca oleh kawan-kawannya dan dianggap
melakukan penyimpangan beragama karena mengikuti dua agama yaitu agama islam dan
kristen sekaligus. Anak ini bingung untuk menentukan agama yang dipilihnya
meskipun kedua orang tuanya memberikan kebebasan. Namun tampak bahwa
orang-orang di sekitar memiliki peran strategis dalam mengatasi kemelut batin
remaja.
Dalam kasus ini, si anak
cenderung mengikuti agama ibunya karena faktor kedekatan hubungan dengan ibu
serta adanya dorongan dari guru PAI dan temna-temannya yang mayoritas juga
beragama islam. Jika berhasil menyelesaikan konflik dalam batinnya, seorang
remaja akan berubah menjadi taat. Sebaliknya bila gagal, yang akan terjadi
adala remaja menjauhan diri dari agama, mencari agama baru, atau rujuk ke
nilai-nilai yang dianutnya dan mengubah sikap.
b. Dan
yang kedua adalah konflik yang terjadi antara percaya dan ragu. Setelah memutuskan
untuk masuk islam pun, anak ini masih mengalami keraguan, apakah agama yang dia
anut adalah agama yang benar atau bukan. Banyak konsep ajaran islam yang belum
ia fahami. Hal ini juga dapat disebabkan karena adanya penyampaian ajaran agama
di masa anak-anak yang berupa konsep saja dan tidak dikontekstualisasikan
sehingga terkesan ajaran agama hanya berbicara tentang akhirat saja dan tidak
terkait dengan kehidupan dunia. Nilai ajaran agama yang diharapkan dapat
mengisi kekosongan batin mereka terkadang tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan.
Sejalan dengan perkembangan inteleknya, remaja sering dibingungkan dengan
adanya perbedaan ajaran yang mereka terima.[6]
Keraguan ini muncul begitu
saja sejalan dengan perkembangan intelek anak. Menurut Hurlock, seorang remaja
akan mengalami tiga periode pada pola perubahan pada minat beragamanya. [7]
- Periode Kesadaran Religius
Pada masa remaja terjadi
peningkatan minat beragama. Munculnya semangat beragama hingga timbulnya
keinginan untuk menyerahkan kehidupan untuk agama atau malah timbul keraguan
akan keyakinan yang diterima mentah-mentah pada masa anak-anak.
- Periode Keraguan Religius
Pada periode ini remaja sering
besikap skeptis pada berbagai bentuk religius, seperti sembahyang, berdoa dan
lain sebaginya, serta mulai meragukan ajaran religius. Bagi beberapa remaja
keraguan ini dapat membuat mereka kurang taat beragama atau berusaha mencari
kepercayaan lain.
- Periode Rekonstruksi Agama
Keyakianan keagamaan yang
didapat sewaktu anak-anak dirasa kurang memuaskan, sehingga muncul keinginan
untuk mencari kepercayaan baru misalnya yang berasal dari sahabat kari, kawan
sejenis atau kepercayaan pada suatu kultus agama baru.
Menurut Wagner (170 : dalam
Jalaludin) kebimbangan ini merupakan suatu kewajaran pada diri remaja. Wagner
juga menuturkan bahwa banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari
rangsangan emosional dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama
dengan tidak menerimnya begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin
menjadi agnostik atau atheis, melainkan mereka ingin menerima agama sebagai
sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas
menentukan keputusan mereka sendiri.
Keluarga beda agama mempunyai
aspek positif sekaligus aspek negatif tertentu.[8]
Aspek positifnya adalah adanya toleransi. Beberapa sikap toleransi itu nampak
seperti adanya kesepakatan untuk tidak memasang simbol-simbol agama tertentu di
rumahnya, menghormati anggota keluarga yang sedang menjalankan ibadah sesuai
dengan agamanya.
Aspek positif yang kedua adalah
demokratis dalam kehidupan
agama. Hal ini ditunjukkan dengan sikap menerima perbedaan agama di keluarga,
menghormati anggota keluarga melakukan ibadah agama yang berbeda dengan
dirinya, dalam beberapa kasus malahan muncul sikap sportif mendorong orang lain
yang berbeda agama untuk menjalanklan agamanya secara baik. Namun ada pula aspek negatifnya yaitu adanya kompetisi
terselubung, masing-masing orang tua dalam hati kecil menginginkan kalau anak
nantinya mengikuti agama dirinya.
Keinginan ini membuat masing-masing orang tua
merusaha menarik anaknya ke dalam agamanya. Hal ini juga sempat terjadi pada
anak dari keluarga beda agama tersebut. Ketika dia merasakan kebimbangan
terhadap ajaran agama islam, si anak mendapat ajakan dari ayahnya untuk
berpindah agama dan mengikuti agama kristen. Maka terjadilah perebutan pengaruh
antara si ayah dan ibu agar si anak mengikuti ajaran agama mereka
masing-masing. Hal ini membuktikan bahwa keluarga beda agama itu dapat
menyebabkan timbulnya konflik batin dan kebimbangan beragama pada anak dalam
keluarga tersebut.
D. Kesimpulan
Fenomena keluarga beda agama
menjadi suatu permasalahan tersendiri apabila menyangkut permasalahan
pendidikan keagamaan anak. Sebab dalam prakteknya, sering kali anak
dibingungkan dengan adanya dua pilihan agama dari kedua orang tuanya. Kondisi
yang seperti ini memicu munculnya Religious
Douubt pada anak atau kebimbangan rasa agama. Religious doubt dapat
menyebabkan seorang anak mencari pemecahan terhadap masalahnya, namun jika
dia tidak menemukan pemecahan yang
tepat, bisa saja dia menjadi anak yang membangkang terhadap ajaran agamanya
atau bahkan meninggalkan agamanya dan mencari kepercayan lain yang dianggapnya
lebih sesuai.Untuk itu, perlu sebuah pendekatan terhadap seorang anak yang
sedang dalam kondisi kebimbangan ini. Yaitu pemberian pemahaman keagamaan yang
sifatnya afektif, psikomotorik, dan penyampaian konsep ajaran agama yang maknawi.
[1] Jalaludin. Psikologi Agama. 2008. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm.80.
[2] ibid,.
[3] Syahri
Ramadhan Tadun El-Minangkabawy. Dinamika
Perkembangan Rasa Agama "The Dinamic of Religious Conscience". http://raudhatulalmuhibbin.blogspot.com/2011/03.
Diunggah Minggu, 06 Maret 2011. Diakses tanggal 23 Desember 2011 pukul 11.00
WIB
[4] M.
Murtadho. Pendidikan Agama Pada Anak
Pasangan Orang Tua Beda Agama. http://wordpress.com/2010. Diakses tanggal
28 Desember 2011 pukul. 11.00 WIB.
[5]
Jalaludin, Psikologi Agama. hlm. 80.
[6] ibid,. hlm 80
[7]
Elizabeth B.Hurlock. PsikologiPerkembangan:
Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. 1980. Jakarta: Erlangga. Hlm.222
Tidak ada komentar:
Posting Komentar