Rabu, 02 Januari 2013

Mini Riset: Religious Doubt di Kalangan Remaja Pada Keluarga Beda Agama



  1. Pendahuluan
Salah satu gejala modern dalam masalah pembentukan keluarga adalah adanya keinginan individu menikah dengan orang yang beda agama. Keluarga beda agama menjadi suatu permasalahan tersendiri apabila menyangkut permasalahan pendidikan keagamaan anak. Terlebih apabila anak sudah memasuki usia remaja yang merupakan  masa krisis identitas. Sebab pada masa ini merupakan masa peralihan dari anak-anak menju dewasa.
Perkembangan remaja sangat pesat. Secara fisik dia sudah tampak seperti fisik orang dewasa pada umumnya, namun secara psikologis terkadang remaja belum mampu bersikap dewasa. Dalam kondisi yang tidak seimbang ini, remaja membutuhkan agama sebagai tempat bergantung.[1] Remaja membutuhkan agama sebagai filter dalam pergaulannya untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Namun apa yang terjadi bila agama yang seharusnya menjadi filter tersebut justru menuai ketidakpastian sebab anak masih merasa bimbang untuk memilih, apakah dia akan mengikuti agama yang di anut oleh ayahnya atau agama ibunya yang berbeda.
Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama seseorang dapat dilihat dari kemampuannya untuk menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam dirinya.[2] Ketika menghadapi kondisi yang bimbang dalam memahami ajaran agamanya, seorang remaja berusaha untuk menemukan pemecahan masalahannya baik melalui pendapat orang lain ataupun oleh dirinya sendiri.[3]
Namun jika anak tidak menemukan pemecahan yang tepat dari permaslahan keagamaannya tersebut, bisa saja dia menjadi anak yang membangkang terhadap ajaran agamanya atau bahkan meninggalkan agamanya dan mencari kepercayan lain yang dianggapnya lebih sesuai. Dalam kasus keluarga beda agama misalnya, ketika anak sudah memilih agama seperti yang dianut oleh ibunya, bisa jadi suatu ketika dia merasa ragu akan kebenaran ajarannya dan berniat untuk berpindah agama seperti agama yang dianut oleh ayahnya dan begitu pula sebaliknya.
Secara umum keluarga beda agama mempunyai dua sisi positif yaitu adanya toleransi teradap anggota keluarga lain yang beda agama dan demokratis dalam kehidupan agama. Namun keluarga beda agama juga mempunyai sisi negatif yaitu adanya kompetisi terselubung, masing-masing orang tua dalam hati kecil menginginkan agar anak nantinya mengikuti agama yang dianutnya.[4] Dari keinginan seperti inilah  yang akan menyebabkan munculnya kebimbangan rasa agama anak yang terlahir dalam keluarga beda agama.
B. Kasus: Religious Doubt  pada Remaja dalam Keluarga Beda Agama
            Religious doubt atau kebimbangan rasa agama bisa terjadi di usia remaja. Kebimbangan ini timbul timbul karena banyak faktor. Salah satunya adalah adanya kawan atau keluarga yang beda agama. Penulis menemukan kasus seperti ini pada seorang anak remaja berusia kurang lebih lima belas tahun. Anak ini terlahir dari sebuah keluarga beda agama. Ibunya adalah seorang muslim dan ayahnya seorang kristiani. Ketika menikah, kedua orang tuanya memutuskan untuk tetap berpagang teguh pada ajaran agamanya masing-masing dan tidak ada pihak yang berpindah agama.
            Anak ini mengaku kedua orang tuanya sama-sama mengajarkan doktrin agama masing-masing kepadanya. Ia sering di ajak ke gereja oleh ayahnya dan dia pun juga rajin mengikuti TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) dan pengajian bersama ibunya di masjid. Hal ini terus berlangsung hingga ia tamat SD. Menurut teman-temannya, menganut dua agama sekaligus merupakan suatu bentuk penyimpangan beragama. Ia mulai merasa ragu, agama yang mana yang akan ia anut? Selama ini yang ia tahu adalah agama dari kedua orang tuanya itu sama-sama mengajarkan tentang kebajikan.
            Sebenarnya, kedua orang tua anak ini memberikan kebebasan padanya untuk memilih agamanya sendiri. Namun karena selama ini si anak memiliki hubungan yang lebih dekat dengan ibunya dari pada hubungannya dengan ayah, maka ia memutuskan untuk masuk islam. Ayahnya tidak mempermasalahkan hal ini dan dapat menerima keputusan si anak dengan baik.
            Satu persoalan telah teratasi, namun sebagai seorang remaja yang kognisinya sedang berkembang, kebimbangan itu muncul lagi terhadap agama yang telah dipilihnya. Ia mengaku sempat ragu apakah agama islam yang dipilihnya ini adalah jalan yang benar atau bukan. Ia juga meragukan kebenaran al-Qur’an dan tidak tahu untuk apa al-Qur’an itu karena pengetahuannya masih terbatas. Dalam kondisi yang bimbang ini, si anak mendapat ajakan dari ayahnya untuk berpindah agama dan mengikuti agama kristen. Ayahnya yang semula bersikap netral mulai berubah dan berupaya meyakinkan anaknya bahwa agama yang ia anut adalah benar serta meminta agar anaknya berpindah agama.
Ia berusaha mengatasi kebimbangannya dengan bertanya pada guru PAI di sekolahnya. Guru PAI yang mengetahui latar belakang keluarga anak ini, berusaha melakukan pendekatan dan memberikan banyak pengetahuan agama. Sedikit rasa keingintahuannya telah terobati dan ia pun kembali yakin akan pilihannya masuk islam. Hingga saat ini, si anak tetap menjadi seorang muslim dan taat beribadah.

C.    Analisis Kasus     
            Sebuah keluarga memang seharusnya dibangun atas dasar akidah atau keyakinan yang sama. Keluarga beda agama mempunyai implikasi terhadap keberagamaan keluarga terutama terhadap anaknya. Mungkin banyak kasus keluarga beda agama yang kita temui di sekeliling kita. Baik disadari maupun tidak, besar atau kecil, perebutan pengaruh dari kedua orang tua agar si anak mengikuti ajaran mereka akan tetap ada. Hal semacam ini dapat mengakibatkan munculnya kebimbangan rasa agama pada anak.
Religiou Doubt atau kebimbangan rasa agama akan menjurus pada munculnya konflik dalam diri pada remaja, sehingga mereka dihadapkan pada pemilihan antara mana yang baik dan buruk, atau yang benar dan salah. Konflik tersebut dapat berupa[5]:
  1. Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu.
  2. Konflik yang terjadi antara pemilihan satu diantara dua agama atau ide keagamaan serta lembaga keagamaan.
  3. Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama dan sekularisme.
  4. Konflik ayng terjadi antara melepaskan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan pada petunjuk ilahi.
Dari kasus dalam pembahasan poin B di atas, dapat disimpulkan bahwa anak remaja dari keluarga beda agama tersebut mengalami dua kebimbangan rasa agama yang mengarah pada suatu konflik dalam dirinya.
a. Yang pertama adalah konflik yang terjadi antara pemilihan satu diantara dua agama. Hal ini dirasakannya ketika dia dicerca oleh kawan-kawannya dan dianggap melakukan penyimpangan beragama karena mengikuti dua agama yaitu agama islam dan kristen sekaligus. Anak ini bingung untuk menentukan agama yang dipilihnya meskipun kedua orang tuanya memberikan kebebasan. Namun tampak bahwa orang-orang di sekitar memiliki peran strategis dalam mengatasi kemelut batin remaja.
Dalam kasus ini, si anak cenderung mengikuti agama ibunya karena faktor kedekatan hubungan dengan ibu serta adanya dorongan dari guru PAI dan temna-temannya yang mayoritas juga beragama islam. Jika berhasil menyelesaikan konflik dalam batinnya, seorang remaja akan berubah menjadi taat. Sebaliknya bila gagal, yang akan terjadi adala remaja menjauhan diri dari agama, mencari agama baru, atau rujuk ke nilai-nilai yang dianutnya dan mengubah sikap.
b. Dan yang kedua adalah konflik yang terjadi antara percaya dan ragu. Setelah memutuskan untuk masuk islam pun, anak ini masih mengalami keraguan, apakah agama yang dia anut adalah agama yang benar atau bukan. Banyak konsep ajaran islam yang belum ia fahami. Hal ini juga dapat disebabkan karena adanya penyampaian ajaran agama di masa anak-anak yang berupa konsep saja dan tidak dikontekstualisasikan sehingga terkesan ajaran agama hanya berbicara tentang akhirat saja dan tidak terkait dengan kehidupan dunia. Nilai ajaran agama yang diharapkan dapat mengisi kekosongan batin mereka terkadang tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan. Sejalan dengan perkembangan inteleknya, remaja sering dibingungkan dengan adanya perbedaan ajaran yang mereka terima.[6]
Keraguan ini muncul begitu saja sejalan dengan perkembangan intelek anak. Menurut Hurlock, seorang remaja akan mengalami tiga periode pada pola perubahan pada minat beragamanya. [7]
  1. Periode Kesadaran Religius
Pada masa remaja terjadi peningkatan minat beragama. Munculnya semangat beragama hingga timbulnya keinginan untuk menyerahkan kehidupan untuk agama atau malah timbul keraguan akan keyakinan yang diterima mentah-mentah pada masa anak-anak.
  1. Periode Keraguan Religius
Pada periode ini remaja sering besikap skeptis pada berbagai bentuk religius, seperti sembahyang, berdoa dan lain sebaginya, serta mulai meragukan ajaran religius. Bagi beberapa remaja keraguan ini dapat membuat mereka kurang taat beragama atau berusaha mencari kepercayaan lain.
  1. Periode Rekonstruksi Agama
Keyakianan keagamaan yang didapat sewaktu anak-anak dirasa kurang memuaskan, sehingga muncul keinginan untuk mencari kepercayaan baru misalnya yang berasal dari sahabat kari, kawan sejenis atau kepercayaan pada suatu kultus agama baru.
Menurut Wagner (170 : dalam Jalaludin) kebimbangan ini merupakan suatu kewajaran pada diri remaja. Wagner juga menuturkan bahwa banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosional dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama dengan tidak menerimnya begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin menjadi agnostik atau atheis, melainkan mereka ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan mereka sendiri.
Keluarga beda agama mempunyai aspek positif sekaligus aspek negatif tertentu.[8] Aspek positifnya adalah adanya toleransi. Beberapa sikap toleransi itu nampak seperti adanya kesepakatan untuk tidak memasang simbol-simbol agama tertentu di rumahnya, menghormati anggota keluarga yang sedang menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.
Aspek positif yang kedua adalah demokratis dalam kehidupan agama. Hal ini ditunjukkan dengan sikap menerima perbedaan agama di keluarga, menghormati anggota keluarga melakukan ibadah agama yang berbeda dengan dirinya, dalam beberapa kasus malahan muncul sikap sportif mendorong orang lain yang berbeda agama untuk menjalanklan agamanya secara baik. Namun ada pula aspek negatifnya yaitu adanya kompetisi terselubung, masing-masing orang tua dalam hati kecil menginginkan kalau anak nantinya mengikuti agama dirinya.
 Keinginan ini membuat masing-masing orang tua merusaha menarik anaknya ke dalam agamanya. Hal ini juga sempat terjadi pada anak dari keluarga beda agama tersebut. Ketika dia merasakan kebimbangan terhadap ajaran agama islam, si anak mendapat ajakan dari ayahnya untuk berpindah agama dan mengikuti agama kristen. Maka terjadilah perebutan pengaruh antara si ayah dan ibu agar si anak mengikuti ajaran agama mereka masing-masing. Hal ini membuktikan bahwa keluarga beda agama itu dapat menyebabkan timbulnya konflik batin dan kebimbangan beragama pada anak dalam keluarga tersebut.

D.    Kesimpulan
Fenomena keluarga beda agama menjadi suatu permasalahan tersendiri apabila menyangkut permasalahan pendidikan keagamaan anak. Sebab dalam prakteknya, sering kali anak dibingungkan dengan adanya dua pilihan agama dari kedua orang tuanya. Kondisi yang seperti ini memicu munculnya Religious Douubt pada anak atau kebimbangan rasa agama. Religious doubt dapat menyebabkan seorang anak mencari pemecahan terhadap masalahnya, namun jika dia  tidak menemukan pemecahan yang tepat, bisa saja dia menjadi anak yang membangkang terhadap ajaran agamanya atau bahkan meninggalkan agamanya dan mencari kepercayan lain yang dianggapnya lebih sesuai.Untuk itu, perlu sebuah pendekatan terhadap seorang anak yang sedang dalam kondisi kebimbangan ini. Yaitu pemberian pemahaman keagamaan yang sifatnya afektif, psikomotorik, dan penyampaian konsep ajaran agama yang maknawi.



[1] Jalaludin. Psikologi Agama. 2008. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm.80.
[2] ibid,.
[3] Syahri Ramadhan Tadun El-Minangkabawy. Dinamika Perkembangan Rasa Agama "The Dinamic of Religious Conscience". http://raudhatulalmuhibbin.blogspot.com/2011/03. Diunggah Minggu, 06 Maret 2011. Diakses tanggal 23 Desember 2011 pukul 11.00 WIB
[4] M. Murtadho. Pendidikan Agama Pada Anak Pasangan Orang Tua Beda Agama. http://wordpress.com/2010. Diakses tanggal 28 Desember 2011 pukul. 11.00 WIB.
[5] Jalaludin, Psikologi Agama. hlm. 80.
[6] ibid,. hlm 80
[7] Elizabeth B.Hurlock. PsikologiPerkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. 1980. Jakarta: Erlangga. Hlm.222
[8] M. Fuad Nasar, “Perkawinan Beda Agama”. Majalah Amanah, edisi No. 55 Th. XVIII, hlm. 38-39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar