Selasa, 08 Januari 2013

Kepemimpinan dalam Sudut Pandang Islam



Secara sosiologis, masyarakat dan kepemimpinan merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Syari’ati berkeyakinan bahwa ketiadaan kepemimpinan menjadi sumber munculnya problem-problem masyarakat, bahkan masalah kemanusiaan secara umum. Menurut Syari’ati pemimpin adalah pahlawan, idola, dan insan kamil, tanpa pemimpin umat manusia akan mengalami disorientasi dan alienasi.
Ketika suatu masyarakat membutuhkan seorang pemimpin, maka seorang yang paham akan realitas masyarakatlah yang pantas mengemban amanah kepemimpinan tersebut. Pemimpin tersebut harus dapat membawa masyarakat menuju kesempurnaan yang sesungguhnya. Watak manusia yang bermasyarakat ini merupakan kelanjutan dari karakter individu yang menginginkan perkembangan dirinya menuju pada kesempurnaan yang lebih.
Kepemimpinan itu wajib ada, baik secara syar’i ataupun secara ‘aqli. Adapun secara syar’i misalnya tersirat dari firman Allah tentang doa orang-orang yang selamat. “Dan jadikanlah kami sebagai imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa” [QS Al-Furqan : 74].
Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits yang sangat terkenal : “Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya”. Terdapat pula sebuah hadits yang menyatakan wajibnya menunjuk seorang pemimpin perjalanan diantara tiga orang yang melakukan suatu perjalanan. Adapun secara ‘aqli, suatu tatanan tanpa kepemimpinan pasti akan rusak dan porak poranda.Karena seorang pemimpin merupakan khalifah (pengganti) Allah di muka bumi, maka dia harus bisa berfungsi sebagai kepanjangan tangan-Nya.
Bekal pemahaman (ilmu dan hikmah) bagi seorang pemimpin merupakan bekal paling esensial yang mesti ada. Bekal ini bersifat soft, yang karenanya  membutuhkan hardware agar bisa berdaya. Hukm berarti jelas dalam melihat yang samar-samar dan bisa melihat segala sesuatu sampai kepada hakikatnya, sehingga bisa memutuskan untuk meletakkan segala sesuatu pada tempatnya (porsinya). Atas dasar ini, secara sederhana hukm biasa diartikan sebagai pemutusan perkara (pengadilan, al-qadha’). Adanya hukm pada diri Dawud, Sulaiman, dan Yusuf merupakan kriteria al-quwwat, yang berarti bahwa mereka memiliki kepiawaian dalam memutuskan perkara (perselisihan) secara cemerlang. Al-quwwat pada diri mereka berwujud dalam bentuk ini karena pada saat itu aspek inilah yang sangat dibutuhkan.
Ketika Rasulullah SAW wafat, maka tidaklah mungkin beliau meninggalkan umatnya tanpa seorang pemimpin, yang mana telah beliau didik untuk sampai pada pengetahuan akan realitas alam semesta ini, dan juga realitas dari ayat-ayat Allah SWT. Karena tingkat kwalitas pengetahuan manusia yang berbeda-beda, juga masih adanya manusia yang belum mengetahui makna dari ayat-ayat Allah SWT, dan juga masih ada manusia yang belum mengetahui, memahami tujuan hidupnya, maka Rasulullah SAW atas perintah Allah SWT pastilah memilih seorang dari ummat Islam untuk menjadi pemimpin.
Pemimpin tersebut harus memiliki tingkat pengetahuan yang sama dengan Rasulullah SAW, dan juga pemimpin tersebut harus bebas dari segala bentuk dosa kecil apalagi besar (ma’sum). Akan tetapi ia bukanlah menjadi seorang nabi, karena tidak ada risalah baru yang disampaikan. Islam telah menjadi agama yang sempurna, namun masih di butuhkan orang yang dapat menjaga risalah Islam dan membuat ummat Islam mudah untuk mencapai tujuannya. Tugas seorang pemimpin ini adalah mengawasi, memimpin, dan memperhatikan ummat Islam.
Terdapat perbedaan antara seorang pemimpin dan nabi. Nabi itu bertugas sebagai pemandu, pembimbing, serta juga memberikan sarana untuk melintasi jalan dalam mencapai tujuan. Sedangkan pemimpin adalah orang yang membuat pengikutnya mudah untuk mencapai tujuan, mengawasi, memimpin, dan memperhatikan ummat Islam. Disamping al-hukm sebagai kriteria kedua (al-quwwat), ketiga orang tersebut juga memiliki bekal al-‘ilm sebagai kriteria pertama (al-‘ilm). Jadi, lengkaplah sudah kriteria kepemimpinan pada diri mereka.

Sabtu, 05 Januari 2013

Sosiologi Pendidikan: Perilaku Kolektif dan Perilaku Menyimpang



  1. Pengertian Perilaku Menyimpang
            Perilaku menyimpang dapat didefinisikan sebagai perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat atau kelompok tertentu di dalam masyarakat.[1] Robert MZ.Lawang berpendapat bahwa perilaku menyimpang adalah tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari pihak berwenang untuk memperbaiki perilaku yang menyimpang tersebut.
            Penyimpangan adalah perbuatan yang mengabaikan norma dan penyimpangan ini terjadi jika seseorang auat sebuah kelompok tidak mematuhi patokan baku di dalam masyarakat. Para sosiolog menggunakan istilah penyimpangan (deviance) untuk merujuk pada tiap pelanggaran norma, mulai dari pelanggaran sekecil hingga bentuk penyimpangan yang sifatnya kompleks.[2]
            Batasan perilaku menyimpang ditentukan oleh norma-norma kemasyarakatan yang berlaku dalam suatu kebudayaan. Jadi, suatu tindakan yang mungkin pantas dan diterima dalam suatu situasi, mungkin tidak pantas diterapkan dalam situai lainnya. Anggapan tentang suatu perilaku menyimpang dapat berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
  1. Teori-teori Penyimpangan
Beberapa teori penyimpangan, antara lain[3]:
1.      Teori Differential Association
Dikemukakan oleh Edwin H. Suterland yang berpendapat bahwa penyimpangan bersumber pada pergaulan yang berbeda. Penyimpangan dipelajari melalui proses alih budaya. Misal, perilaku homoseksual.
2.      Teori Labelling
Dikemukakan oleh Edwin M.Lemerd, bahwa seseorang yang telah melakukan penyimpangan pada tahap primer, lalu oleh masyarakat diberikan cap sebagai penyimpang, maka orang tersebut terdorong untuk melakukan penyimpangan sekunder dengan alasan “kepalang tanggung”.
3.      Teori Merton
Dikemukakan oleh Robert K. Merton, bahwa perilaku penyimpangan merupakan bentuk adaptasi terhadap situasi tertentu. Cara beradaptasi tersebut terbagi menjadi lima:
a.       Konformitas: perilaku yang mengikuti tujuan dan cara yang ditentukan masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut atau dengan cara yang konvensional dan melembaga.
b.      Inovasi : perilaku yang mengikuti tujuan yang ditentukan oleh masyarakat tetapi memakai cara yang dilarang oleh masyarakat.
c.       Ritualisme:perilaku yang telah meninggalkan tujuan budaya, akan tetapi tetap menggunakan cara-cara yang digariskan oleh masyarakat. Contoh: upacara adat yang masih dilaksanakan, tetapi maknanya telah hilang.
d.      Retretisme:perilaku yang meninggalkan baik tujuan konvensional maupun cara pencapaiannya. Contoh: pecandu narkoba, pemabuk,dll.
e.       Rebellion:penarikan diri dari tujuan dan cara-cara konvensional yang disertai dengan upaya untuk melembagakan tujuan dan cara baru. Contoh: para reformator agama.
4.      Teori Fungsi
Dikemukakan oleh Emile Durkheim, bahwa kesadaran moral dari semua masyarakat adalah karena faktor keturunan, perbedaan lingkungan, fisik dan lingkungan sosial. Ia juga berpendapat bahwa kejahatan itu perlu, sebab agar moralitas dan hukum dapat berkembang dengan moral.
C.Faktor-faktor Penyebab Perilaku Menyimpang[4]
Perilaku menyimpang biasanya disebabkan oleh beberapa faktor penyebab, antara lain:
a.   Sikap Mental Yang Tidak Sehat.
Perilaku dapat disebabkan karena sikap mental yang tidak sehat. Sikap itu ditunjukkan dengan tidak merasa bersalah atau menyesal atas perbuatannya, bahkan merasa senang. Misal: profesi melacur.
b.  Ketidakharmonisan Dalam Keluarga.
Tidak adanya keharmonisan dalam keluarga dapat menjadi penyebab terjadinya perilaku menyimpang. Misal: kalangan remaja yang menggunakan obat-obat terlarang karena faktor broken home.
c.   Pelampiasan Rasa Kecewa.
Seseorang yang mengalami kekecewaan apabila tidak dapat mengalihkan ke hal yang positif, maka ia akan berusaha mencari pelarian untuk memuaskan rasa kecewanya teresbut. Misal: bunuh diri.
d.  Dorongan Kebutuhan Ekonomi.
e.   Pengaruh Lingkungan Dan Media Massa.
f.   Keinginan Untuk Dipuji.
Seseorang dapat bertindak menyimpang karena keinginan untuk mendapat pujian, seperti seseorag yang menginginkan kehidupan yang mewah. Agar keinginannya terwujud, ia rela melakukan perilaku yang menyimpang seperti korupsi, menjual diri dan merampok.
g.  Proses Belajar Yang Menyimpang.
Hal ini dapat terjadi melalui interaksi sosial dengan orang-orang yang berperilaku menyimpang.
h.  Adanya ikatan Sosial yang Berlainan.
Seseorang individu cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang paling ia hargai dan akan lebih senang bergaul dengan kelompok itu daripada dengan kelompok lainnya. Dalam proses ini, individu akan  memperoleh pola sikap dan perilaku kelompoknya. Jika kelompok yang digauli menyimpang, kemungkinan besar individu tersebut akan berperilaku menyimpang juga.
i.    Proses Sosialisasi Nilai-nilai Subkebudayaan Menyimpang
Perilaku menyimpang yang terjadi dalam masyarakat dapat disebabkan karena seseorang memilih nilai subkebudayaan yang  menyimpang, yaitu sub kebudayaan khusus yang normanya bertentangan dengan norma budaya yang dominan.
j.    Ketidaksanggupan Menyerap Norma
Ketidaksanggupan untuk menyerap norma ke dalam kepribadian seseorang diakibatkan karena ia mempelajari proses sosialisasi yang tidak sempurna, sehingga ia tidak sanggup menjalankan perannya sesuai dengan perilaku yang diharapkan oleh masyarakat.
Kepribadian yang menyimpang dalam diri seseorang dapat terbentuk karena adanya media pencetus yang dapat mendororng terbentuknya kepribadian menyimpang itu. Media pembentukan kepribadian yang menyimpang antara lain:
keluarga, lingkungan tempat tinggal, kelompok bermain dan media massa
D.    Bentuk-bentuk Perilaku yang Menyimpang
1.      Penyimpangan Primer
Penyimpanagn primer merupakan penyimpangan yang bersifat temporer atau sementara dan hanya menguasai sebagian kecil kehidupan seseorang. Cirinya adalah bersifat sementara, gaya hidupnya tidak didominasi oleh perilaku menyimpang dan masyarakat masih mentolerir/menerima.
2.      Penyiimpangan Sekunder
Merupakan perbuatan yang dilakukan secara khas dengan memperlihatkan perilaku menyimpang. Ciri penyimpangan sekunder adalah gaya hidupnya didominasi oleh perilaku menyimpang dan masyarakat tidak bisa mentolerir perilaku menyimpang tersebut.
3.      Penyimpangan Individu
Adalah penyimpangan yang dilakukan oleh seorang individu dengan melakukan tindakan-tindakan yagn menyimpang dari norma-norma yang berlaku.
4.      Penyimpangan Kelompok
Merupakan penyimpangan yang dilakukan secara berkelompok dengan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku.

5.      Penyimpangan Situasional
Penyimpangan ini disebabkan oleh pengaruh bermacam-macam kekuatan situasional/sosial diluar individu dan memaksa individu tersebut untuk berbuat menyimpang. Contoh: seorang suami terpaksa melakukan pencurian karena tidak tahan melihat anak istrinya kelaparan.
6.      Penyimpangan Sistematik
Merupakan suatu system tingkah laku yang disertai organisasi sosial khusus, status formal, peran-peran, nilai, norma dan moral tertentu yang semua berbeda dengan situasi umum. Segal fikiran dan perbuatan menyimpang itu kemudian dibenarkan oleh semua anggota kelompok. Contoh: dalam sebuah geng terdapat aturan-aturan tertentu yang biasanya harus dipatuhi semua anggotanya.
7.      Penyimpangan Positif
Merupakan bentuk peyimpangan yang mempunyai dampak positif karena mengandung unsure inovatif, kreatif dan memperkaya alternative. Jadi penyimpangan positif merupakan penyimpangan yang terarah pada nilai-nilai sosial yang didambakan, meskipun cara yang dilakuakan tampaknya menyimpang dari norma yang berlaku. Contoh: ibu rumah tangga dengan terpasa menjadi sopir angkot karena desakan ekonomi.
8.      Penyimpangan Negatif
Merupakan penyimpangan yang cenderung bertindak kea rah nilai-nilai sosial yang dipandang rendah dan berakibat buruk. Dalam penyimpangan negatif, tindakan yang dilakukan akan dicela oleh masyarakat dan pelakukanya akan tidak dapat ditolerir oleh masyarakat.
Menurut Dwi Narwoko, yang termasuk dalam perilaku menyimpang adalah
a.       Tindakan non-conform (yang tidak sesuai dengan nilai dan norma)
b.      Tindakan anti sosial (tindakan yang melawan kebiasaan masyarakat)
c.       Tindakan criminal, tindakan melanggar hukum tertulis, melanggar norma serta tindakan yang mebahayakan jiwa.[5]
  1. Pengertian Perilaku Kolektif
    Perilaku kolektif tidaklah selalu diartikan sebagai sesuatu yang buruk, walaupun biasanya dampaknya akan muncul sesuatu yang merugikan bagi pihak lain. Perilaku kolektif bisa saja berupa perilaku yang memiliki tujuan baik, tetapi dilakukan diluar aturan yang ada misalnya pada saat nasabah bank menarik secara bersama-sama uang yang disimpan di bank yang akan  dilikuidasi. Selanjutnya arti sebenarnya dari perilaku kolektif ini bisa dikatakan sebagai perilaku yang menyimpang yaitu perilaku yang berada diluar aturan atau institusi tetapi  dilakukan oleh sejumlah orang.[6]
Tetapi kenyataanya banyak perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan  aturan yang ada dalam masyarakat. Apabila perilaku tersebut dilakukan oleh individu tertentu maka itulah yang dinamakan dengan perilaku menyimpang, tapi kalau dilakukan oleh sekelompok individu maka dinamakan dengan perilaku kolektif.
Definisi perilaku kolektif seperti ditulis Yusron Razak (editor) dalam Sosiologi Sebuah Pengantar adalah sebagai berikut, Horton dan Hunt berpendapat bahwa perilaku kolektif ialah mobilisasi berlandaskan pandangan yang mendefinisikan kembali tindakan sosial, menurut Milgran dan Touch ialah suatu perilaku yang lahir secara spontan, relatif, tidak terorganisasi serta hampir tidak bisa diduga sebelumnya, proses kelanjutannya tidak terencana dan hanya tergantung pada stimulasi timbal balik yang muncul dikalangan para pelakunya, dan senada pula dengan pendapat Robetson .
Dari contoh-contoh tersebut diatas  bisa disimpulkan yang dimaksud dengan  prilaku kolektif biasanya memiliki ciri:
a.       Dilakukan bersama oleh sejumlah orang..
b.      Tidak bersifat rutin.
c.       Bersifat spontanitas dan tidak terstruktur.
d.      Dipacu oleh rangsangan tertentu.
  1. Faktor Penentu Perilaku Kolektif
Perilaku kolektif bisa terjadi dalam masyarakat mana saja baik masyarakat yang masih sederhana maupun masyarakat yang sudah sangat kompleks. Menurut teori Le Bon perilaku kolektif ditentukan oleh enam faktor yang berlangsung secara berurutan, yaitu[7]:
a.       Situasi Sosial
Situasi sosial sebagian merupakan kekuatan alam diluar kekuatan manusia, sebagian lagi merupakan faktor yang terkait dengan ada tidaknya pengaturan melalui institusi sosial. Misalnya apabila dana nasabah bank tidak dilindungi hukum, maka nasabah akan lebih mudah terpicu untuk beramai-ramai menarik dananya apabila ada berita bank akan di likuidasi.
b.      Ketegangan structural
Kesenjangan dan ketidak serasian antar kelompok  sosial, etik, agama dan ekonomi yang bermukim berdekatan memungkinkan terjadinya ketegangan.
c.       Berkembang dan menyebarnya suatu kepercayaan umum,
Misalnya desas-desus, isu, kabar tertentu tentang penghinaan agama, proses pemilian pejabat, penghitungan suara pemilu  dapat memacu perilaku kolektif
d.      Faktor yang mendahului
Merupakan faktor penunjang kecurigaan dan kecemasan yang dikandung masyarakat. Desas-desus yang berkembag dan dipercayai itu memperoleh penegasan. Misalnya isu BBM naik ternyata benar semakin mendorong perilaku kolektif dll.
e.       Mobilisasi para peserta untuk melakukan tindakan
perilaku kolektif akan terwujud apabila khalayak dimobilisasikan oleh pimpinan untuk bertindak.
f.       Berlangsungnya suatu pengendalian sosial
Merupakan suatu kekuatan yang dapat mencegah, menganggu ataupun menghambat ke 5 faktor diatas. Misalnya kehadiran aparat keamanan atau tokoh masyarakat yang disegani.
Dari keenam faktor tersebut merupakan satu rangkaian, artinya faktor penentu dari perilaku kolektif, itu bisa terjadi satu rangkian yang berurutan.
  1. Bentuk Perilaku Kolektif
Perilaku kolektif merupakan perilaku menyimpang namun perilaku kolektif ni merupakan tindakan bersama oleh sejumlah besar orang, bukan tindakan individu semata. Bila seseorang melakukan pencurian, hal tersebut dapat dikatakan sebagai perilaku menyimpang. Namun bila tindakan pencurian itu dilakukan oleh sejumlah besar orang secara bersama-sama, dapat dikatakan sebagai perilaku kolektif.
Perusakan tempat ibadah, perkelahian masal antar pelajar, pencurian besat-besaran, huru-hara dalam kampanye pemilihan umum merupakan perilaku bersama yang hanya terjadi sewaktu-waktu. Oleh sebab itu, dikatakan oleh Kornblum bahwa perilaku kolekti merupakan perilaku yang tidak rutin.


[1] Bruce J. Coehan. Sosiologi: Suatu pengantar.(Jakarta: Rineka Cipta. 1992). Hal. 218.
[2] James M. Henslin. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi(Jakarta: Erlangga. 2007).hal.148.
[3] ibid,.hal.154
[4] Bruce J. Coehan. Sosiologi: Suatu pengantar.(Jakarta: Rineka Cipta. 1992). Hal. 221.
[5] Dwi Narwoko. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta. Kencana. 2007. hal.101
[6] Kamanto Sunarto. Pengantar Sosiologi. Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004. hal 196.
[7] Ibid., hal.202

Jumat, 04 Januari 2013

CARA KERJA ILMU PENGETAHUAN



PENDAHULUAN

          A.    Latar Belakang
Ilmu memiliki kedudukan mendasar karena hampir disetiap aktivitas manusia dikendalikan oleh ilmu. Ilmu semakin berkembang mengikuti pertambahan kebutuhan manusia disegala aspek, oleh karena itu berkembanglah disiplin-disiplin ilmu, yakni ilmu alam, ilmu-ilmu sosial-humaniora dan ilmu-ilmu agama. Ilmu alam lahir untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik, material dan mekanis-teknis dari manusia terhadap alam. Ilmu sosial berkembang memenuhi kebutuhan dasar manusia yang bersifat non material, sedangkan ilmu agama dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan moral dan spiritual-religius manusia
Ketiga disiplin ilmu tersebut memiliki kekhasan epistemologis masing-masing. Kekhasan ini tergambar dalam cara kerja ilmu-ilmu tersebut yang berbeda satu sama lain. Semestinya ketiga disiplin ilmu ini dapat berkembang secara seimbang, namun pada kenyataannya terkadang masyarakat memandang sebelah mata salah satunya. Hal ini kurang tepat, sebab pada kenyataannya ketiga disiplin ilmu ini sama-sama penting dan saling melengkapi satu sama lain.
    B. Rumusan Masalah
Dari uraian singkat dalam latar delakang diatas, muncul beberapa pertanyaan yang sekaligus menjadi rumusan masalah yang akan menuntun dalam pembahasan makalah berikut ini:
1.      Bagaimana cara kerja ilmu alam, ilmu sosial-humaniora dan ilmu agama?
2.      Bagaiman hubungan antar kerja ketiga disiplin ilmu tersebut dan bagaimana mengintegrasi interkoneksika ketiganya?

PEMBAHASAN

  1. Susunan Ilmu Pengetahuan
Sebelum membahas menganai cara kerja ilmu sosial-humaniora, ilmu alam dan ilmu agama, penulis akan sedikit memaparkan mengenai metode keilmuan secara umum. Gaston Bachelard menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu produk pemikiran manusia yang sekaligus menyesuaikan antara hukum-hukum pemikiran dengan dunia luar. Dengan kata lain, ilmu penegtahuan mengandung dua aspek, yaitu subjektif dan objektif.[1]
Dapat dikatan sebagai ilmu pengetahuan apabila mencakup enam unsur, yaitu[2]:
  1. Adanya masalah (problem); Disebut masalah yang ilmiah jika masalah tersebut dihadapi dengan sikap dan metode ilmiah dan berhubungan dengan masalah dan solusi ilmiah lain secara sistematis.
  2. Adanya sikap, dalam arti sikap ilmiah.
  3. Menggunakan metode ilmiah.
  4. Adanya aktivitas atau riset ilmiah.
  5. Adanya kesimpulan, yaitu pemahaman yang dicapai sebagai hasil pemecahan masalah.
  6. Adanya pengaruh. Pengaruh yang dimaksud mencakup dua hal yakni pengaruhnya terhadap ilmu terapan dan terhadap masayarakat dan peradaban.
Pengaruh yang dimaksud mencakup dua hal yakni pengaruhnya terhadap ilmu terapan dan terhadap masayarakat dan peradaban. Ilmu pengatahuan dikembangkan melalui metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, langkah dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan atau mengembangkan pengetahuan yang ada. Metode ilmiah tersebut terangkum dalam enam tahap berikut[3]:
  1. Perumusan masalah: dirumuskan secara tepat dan jelas dalam bentuk pertanyaan agar ilmuwan memiliki jalan untuk mngetahui fakta-fakta apa saja yang harus dikumpulkan.
  2. Pengamatan dan pengumpulan data atau observasi: penyelidikan dalam tahap ini memiliki corak empiris dan induktif yang diarahakan pada pengumpulan data.
  3. Pengamatan dan klasifikasi data: ditekankan pada penyusunan fakta-fakta dalam kelompok, jenis dan kelas tertentu berdasarkan sifat yang sama.
  4. Perumusan pengetahuan (definisi): ilmuwan mengadakan analisis dan sintesis sacara induktif. Melalui analisis dan sintesis ilmuwan mengadakan generalisasi (kesimpulan umum). Dalam tahap ini teori telah terbentuk.
  5. Tahap ramalan (prediksi): teori yang sudah terbentuk diturunkan dalam bentuk hipotesis
  6. Pengujian hipotesis atau verivikasi: jika fakta tidak mendukung hipotesis, maka hipotesis harus diubah, dibongkar dan diganti dengan hipotesis lain dan semua kegiatan ilmiah harus dimulai lagi dari permulaan. Data empiris penentu benar tidaknya hipotesis.
  1. Cara Kerja Ilmu-ilmu Alam
Dalam sejarah perkembangan ilmu, ilmu-ilmu alam berkembang lebih awal dan pesat. Sebelum filsafat muncul,  ilmu fisika, metematika, kimia dan astronomi telah lam menjadi perbincangan. Hal ini wajar jika dilihat dari segi kedektan hubungan manusia dengan dunia yang sifatnya fisikal dan material yang mudah diamati dan memberikan manfaat yang bersifat praktis dan langsung bisa dirasakan. Ilmu alam sangat penting bagi kehidupan manusia terutama untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan material dan praktis manusia. Dilihat dari sifat objeknya,  cara kerja ilmu alam bisa dirangkum dalam prinsip-prinsip seperti berikut ini[4]:
a.   Gejala Alam Bersifat Fisik-Statis
Ilmu-ilmu alam berhubungan dengan gejal alam. Ilmu alam berhubungan dengan satu jenis gejala yaitu gejala yang bersifat fisik yang bersifat umum. Penelaahannya meliputi beberapa variabel dalam jumlah yang relatif kecil yang dapat diukur secara tepat.[5]  Dari gejala yang sifatnya fisikal, terukur dan teramati, gejala-gejala alam memiliki sifat statis dari waktu ke waktu. Karena statis jumlah variabel dari gejala alam  sebagai objek yang diamati juga relatif lebih sederhana dan sedikit.
b.  Objek Penelitian Bisa Berulang
Ilmu alam membatasi diri dengan hanya membahas gejala-gejala alam yang dapat diamati. Karena sifat gejala alam fisikal-statis, objek penelitian dalam ilmu alam tidak mengalami perubahan atau tetap. Dengan begitu, ahli ilmu alam dapat mengulang kejadian yang sama setiap waktu dan mengamati kejadian tertentu secara langsung. Dan dari pengamatannya pun akan menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum dan tidak akan mengubah karakteristik obyek yang ditelaah. 
c.   Pengamatan Relatif Mudah dan Simpel
Pengamatan dalam ilmu alam relatif lebih mudah karena dapat dilakukan secara langsung dan dapat diulang. Pengamatn yang dimaksud disini lebih luas dari pengamatan langsung menggunakan panca indera yang lingkup kemampuannya terbatas. Banyak gejala alam yang dapat teramati hanya dengan menggunakan alat bantu, misalnya mikroskop dll. .Jika seseorang menemukan gejala alam yang baru, maka ia perlu memberitahukan tentang lingkungan, peralatan, serta cara pengamatan yang digunakan sehingga memungkinkan orang lain mengamati kembali.[6]
d.  Peneliti Lebih Sebagai Penonton
Prinsip pengamatan dalam ilmu alam adalaha prinsip objektif, artinya kebenaran disimpulkan berdasarkan objek yang diamati. Pengamat tidak terlibat atau tidak berpengaruh terhadap objek yang diamati. Ilmuawan alam adalah penonton alam, dia hanya mengamati alam dan kemudian memperlihatkan kepada orang lain hasil pengamatannya tanpa sedikit pun melibatkan subjektivitasnya dan tidak terlibat pula secara emosional.
Ahli ilmu alam menyelidiki proses alam dan menyusun hukum yang bersifat umum mengenai suatu proses. Dia juga tidak bermaksud untuk mengubah alam atau harus setuju dan tidak setuju. Ahli ilmu alamhanya berharap bahwa pengetahuan mengenai gejala fisik dari alam akan memungkinkan manusia untuk memanfaatkan proses tersebut.
e. Daya Prediktif yang Relatif Lebih Mudah Dipahami
Ilmu-ilmu alam tidak hanya sebata mengumpulkan gejala dan merumuskan teori, melainkan gejala  yang diketahui dan rumusan teori tersebut digunakan untuk memprediksikan kejadian yang mungkin akan timbul dari gejala tersebut. ilmu yang hanya saggup mengumpulkan informasi dan merangkaikannya akan berupa ilmu yang pasif. Untuk menuntut suatu teori ilmu-ilmu alam agar tidak hanya sanggup menguraikan gejala yang telah diketahui tetapi sanggup meramalkan gejala alam lain yang belum dikenal, sebagai konsekuesi logis dari pola penalaran yang digunakan. Gejala ramalan ini juga harus dalam bentuk operasional sehingga memungkinkan untuk diuji dengan eksperimen.
  1. Cara Kerja Ilmu-ilmu Sosial-Humaniora
Ilmu Sosisal-Humaniora perkembangannya tidak sepesat ilmu-ilmu alam. Hal ini karena, objek penelitiannya tidak sekedar sebatas fisik dan material tetapi lebih dibalik fisik dan bersifat lebih kompleks.dibandingkan dengan ilmu alam, ilmu sosial-humaniora nilai manfaatnya tidka bis dirasakan secara langsung. Ilmu sosial-humaniora ini dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia yang sifatnya abstrak dan psikologis. Dilihat dari objeknya, ilmu sosia-humaniora dapat dirangkum dalam prinsip-prinsip seperti berikut:
a. Gejala Sosial-Humaniora Bersifat Nonfisik, Hidup dan Dinamis
Berbeda dengan ilmu-ilmu alam, gejala-gejala yang diamati dalam ilmu sosial humaniora bersifat hidup dan bergerak secara dinamis. Gejala sosial juga mempunyai karakteristik fisik namun diperlukan gejala-gejala penjelasan yang lebih dalam untuk mampu menerangkan gejala tersebut, misalnya aspek sosiologis, psikologis atau biologis dan lain sebagainya. Ilmu sosial mempelajari manusia baik selaku individu maupun sebagai anggota dari suatu kelompok. Objek studi ilmu sosial-humaniora adalah manusia adalah manusia yang lebih spesifik lagi pada aspek sebelah dalam (inner world). Ilmu sosial lebih menekankan pada apa yang berada dibalik manusia secara fisik.[7] Etos ilmu pengetahuan sosial adalah mencari kebenaran objektif. Objektif dalam ilmu sosial diartikan dengan memandang kenyataan sebagaimana adanya (das sein) dengan menggunakan metodologi serta teori sosial berdasarkan realitas objektif yang dijadikan lapangan penyelidikan[8].
b. Objek Penelitian Tidak bisa Berulang
Ahli ilmu sosial tidak mungkin melihat, mendengar, meraba, atau mengecap gejala yang sudah terjadi di masa lalu. Hakiki dari gejala ilmu sosial tidak memungkinkan pengamatan secara langsung dan berulang. Kalau pun mungkin dapat dilakukan secara langsung, namun terdapat beberapa kesulitan untuk melakukan hal tersebut secara keseluruhan. Kejadian sosial sering kali bersifat spesifik dalam konteks histori tertentu. Ilmu sosial-humaniora hanya memaknai, memahami dan menafsirkan gejala-gejalanya, bukan menemukan dan menrangkan secara pasti. Kesimpulan yang didapat dalam suatu penelitian ilmu sosial juga akan berbeda-beda. Karena obyek yang diteliti antara satu dengan yang lain adalah berbeda dan hanya berlaku secara perorangan.
c.Pengamatan Relatif  Lebih Sulit dan Kompleks
      Gejala-gejala sosial-humaniora bergerak bahkan cenderung berubah, bisa dibayangkan ilmuwan dalam mengamati lebih sulit dan kompleks. Sebab yang diamati adalah apa yang ada dibalik penampakan fisik yang berupa bentuk-bentuk hubungan sosial. Manusia memiliki free will dan kesadaran, karena itulah ia bukan benda yang ditentukan menurut hukum-hukum yang berlaku sebagaimana benda mati yang tak memiliki kesadaran apalagi kebebasan berkehendak. Oleh karena iu, jelas bahwa pengamatan dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora jauh lebih kompleks.
Ahli ilmu sosial juga mempelajari fakta misal kondisi yang terdapat dalam masyarakat. Untuk itu mereka mempalajari faktor-faktor dan ciri-cirinya, namun ahli ilmu sosial tidak hanya berhenti sampai disisni. Dia akan cenderung untuk mengembangakn pemikiran mnegenai pola masyarakat yang lebih didambakan. Obyek penelaahan ilmu sosial sangat intim berhubungan dengan manusia yang penuh tujuan tertentu, makhluk yang selalu mencari nilai dalam aspek-aspek kehidupannya, ilmu sosial menghadapi masalah unik yang tidak terdapat  dalam ilmu alam.
d. Subjek Peneliti juga Sebagai Bagian Integral dari Objek yang Diamati
      Ahli ilmu sosial bukanlah sebagi penonton yang menyaksikan suatu proses kejadian sosial. Dia merupakan bagian integral dari kehidupan yang ditelaahnya. Kterlibatannya secara emosional terhadap nilai-nilai tertentu menyebabkan seorang ahli ilmu sosial cenderung untuk ikut bersetuju atau menolak suatu proses sosial tertentu. Menghilangkan kecenderungan-kecendrungan yang bersifat pribadi untuk tetap obyektif adalah sukar dalam penelaahan sosial. Oleh karena itu, ilmu-ilmu sosial pengamatannya menggunakan Verstehen atau memaknai , mengungkapkan makna, dan tidak sekedar menjelaskan. Metode verstehen (memahami), yaitu pemahaman secara subjektif atas makna tindakan-tindakan sosial, dengan cara menafsirkan objeknya yang berupa dunia kehidupan sosial[9].
e. Memiliki Daya Prediktif yang Relatif Lebih Sulit dan Tidak Terkontrol
      Suatu teori sebagai hasil penagmatan sosial-humaniora tidak serta merta bisa dengan mudah mempreiksikan kejadian sosial berikutnya pasti terjadi. Hal ini karena dalam ilmu sosial, pola perilaku sosial-humaniora yang sama belum tentu akan akan mengakibatkan kejadian yang sama. Namun bukan berarti hasil temuan dalam ilmu sosial tidak bisa dipakai sama sekali untuk meramalka kejadian sosial lain sebagai akibatnya dalam waktu dan tempat yang berlainan, tetap bisa namun tidak semudah dalam ilmu-ilmu alam.
Ahli ilmu sosial juga mempelajari fakta misal kondisi yang terdapat dalam masyarakat. Untuk itu mereka memepalajari faktor-faktor dan ciri-cirinya, namun ahli ilmu sosial tidak hanya berhenti sampai disini. Dia akan cenderung untuk mengembangakn pemikiran mengenai pola masyarakat yang lebih didambakan. Obyek penelaahan ilmu sosial sangat intim berhubungan dengan manusia yang penuh tujuan tertentu, makhluk yang selalu mencari nilai dalam aspek-aspek kehidupannya, ilmu sosial menghadapi masalah unik yang tidak terdapat  dalam ilmu alam.
Ahli ilmu sosial harus mengatsi berbagai rintangan jika mereka berharap untuk mebuat kemajuan yang berarti dalam menerangkan, meramalkan, dan mengontrol kehidupan manusia.
  1. Cara Kerja Ilmu-ilmu Agama
Ilmu agama juga merupakan suatu disiplin ilmu yang penting bagi kehidupan manusia. Ilmu agama pun juga memiliki ciri ilmiah yang memiliki kekhasan dibanding ilmu alam dan ilmu sosial. Ciri tersebut tergambar dalam cara kerja ilmu-ilmu keagamaan:
a. Gejala Keagamaan sebagai Ekspresi Keimanan dan Pemahaman atas Teks Suci
      Gejala keagamaan tampak pada perilaku-perilaku keagamaan orang beragama dan masyarakat beragama, dan pada karya seni dan budaya meski intinya juga ekspresi dari penghayatan keagamaan orang beragama. Gejala keagamaan juga merupakan sesuatu yang bergerak, tidak statis yang sekaligus mengindikasi suatu dinamika keimanan sebagai hasil dari pengalaman dan pemahaman atau teks-teks suci keagamaan yang diyakini.  Hal yang tidak ada dalam gejala sosial-humaniora adalah aspek ekspresi keimanan religius ini. Objek kajian dalam ilmu sosial-humaniora adalah manusia yang lebih pada aspek inner worldnya. Sama dengan objek kajian ilmu keagamaan adalah manusia pada inner worldnya juga, namun lebih menekankan pada aspek religiusitasnya.[10]
b. Objek Penelitian Unik dan Tidak Bisa Diulang
      Objek penelitian unik kerena menyangkut keyakinan beragama dan juga teks suci keagamaan yang diyakini orang beragama. Dalam ilmu agama, keyakinan agama dijadikan sumber pengamatan mengapa muncul perilaku sosial orang tertentu beragama. Sama dengan ilmu sosial-humaniora, objek penelitian ilmu agama tak dapat diulang, karena kejadian keagamaan tercermin dalam perilaku keagamaan orang beragama pada kurun waktu dan tempat tertentu tidak mungkin bisa direkonstruksi orang sesudahnya persis kejadian pada awalnya.
c. Pengamatan Sulit dan Kompleks dengan Interpretasi Teks-teks Suci Keagamaan
      Pengamatan dalam ilmu agama mirip dengan ilmu sosial-humaniora yakni sulit dan kompleks karena melihat dan memaknai apa yang dibalik keiatan dan perilaku fisik dan empiris manusia beragama. Hal tersebut merupakan ekspresif dari keimanan mereka terhadap Tuhan sebagai hasil pemahaman terhadap teks kitab suci. Pengamatan dalam ilmu-ilmu keagamaan juga harus “menyelami” dan menginterpretasikan item-item dalam teks-teks suci. Perilaku keagamaan ketika diamati jelas bermuatan multiinterpretasi baik terhadap gejala-gejala yang ditangkap maupun dari segi penafsiran teks-teks sucinya.
d. Subjek Peneliti juga sebagai Bagian Integral dari Objek yang Diamati
      Prinsipnya adalah sama seperti dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora,  pengaamat atau peneliti dalam ilmu keagamaan juga tidak bisa dilepaskan dan merupakan bagian integral dari objek yang diamati apalagi yang diamati adalah perilaku sosial-humaniora manusia beragama atau aktivitas keagamaan. Bahkan ketika mengkaji teks-teks suci keagamaan, seorang pengamat pasti juga terlibat secara emosional dan rasional dalam memahami dan menyimpulkan maknanya.
e. Memiliki Daya Prediktif yang relatif Lebih Sulit dan Tak Terkontrol
      Suatu teori sebagai hasil pengamatan terhadap aktivitas-aktivitas keagamaan tidak serta merta bsa dengan mudah untuk meramalkan aktivitas keagamaan lainnya yang akan terjadi. Hal ini karena dalam ilmu keagamaan, pola perilaku keagamaan yang sama belum tentu akan menghasilkan kejadian-kejadian berikutnya yang sama. Namun bukan berarti hasil temuan dalam ilmu keagamaan tidak bisa dipakai sama sekali untuk meramalkan kejadian yang bersifat religius lain sebagai akibatnya dalam waktu dan tempat berlainan, tetap bisa tetapi tidak mungkin sepasti dan semudah dalm ilmu alam. Dalam ilmu keagamaan juga harus mempertimbangkan keragaman pemahaman orang-orang beragama terhadap ajaran mereka dan hal ini menambah daya prediktif ilmu-ilmu agama semakin sulit untuk dipastikan.
  1. Interkonektif Ilmu Umum dan Ilmu Agama
Ilmu-ilmu keislaman memiliki prinsip yang sama dengan ilmu keagamaan pada umumnya. Yang membedakan adalah teks-teks suci yang diyakini, yakni al-Qur’an dan al-Hadits. Sumber-sumber studi islam tersebut telah melahirkan banyak disiplin ilmu seperti Studi Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an dan Teori Pemahaman Hadis, Fiqih Ushul Fiqh, dll. Prinsip kerja ilmu keislaman mengikuti sebagaiman cara kerja ilmu-ilmu keagamaan, yakni mempertimbangkan gejala-gejala keislaman yang tercermin dalam karya keislaman dan aktivitas keagamaan islam dari penganutnya yang merupakaan ekspresi keberagaman islam.
Keilmuan islam yang interkonektif dan interkomunikatif selalu melibatkan berbagai dimensi kehidupan dari manusia dan melibatkan berbagai perspektif. Dalam keilmuan islam yang interkonektif dan interkomunikatif menolak suatu pandangan dunia hiatm-putih dan tidak ada wilayah “abu-abu”, menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu umum dan menolak perlombaan antar disiplin ilmu memperlihatkan disiplin ilmu apa yang lebih superior dari yang lain. Penolakan ini menunjukkan ada suatu dukungan kelebihan masing-masing disiplin ilmu dan semuanya memiliki nilai kontribusi yang spesifik terhadap suatu realitas.
Pengembangan studi islam berpijak pada tiga hal; yakni hadharah al-nash (Normativitas Teks-teks Suci), hadharah falsafah (Filsafat) dan hadharah al-‘ilm (ilmu alam dan sosial-humaniora). Pemaknaan interpretatif atas nash, al-Qur’an dan al-Hadis tidak mengabaikan perspektif-perspektif keilmuandari berbagai disiplin ilmu yang dimungkinkn ada dan berkembang.[11] Dengan demikian, ilmu-ilmu dikembangkan tidak dalam model singel entity atau murni teks tanpa konteks, tidak dalam model isolated entities atau unit-unit tertutup, yakni normativitas teks suci jalan sendiri, falsafah jalan sendiri dan ilmu jalan sendiri tanpa jendela interkoneksi dan interkomunikasi, melainkan dalam model interconnected entities ada saling hubung antar ketiganya.



[1] Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. 2001), hlm.139
[2] Archie J. Bahm, “What is science“, dalam Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,( Yogyakarta: Belukar. 2004) hal 46.
[3] Surajiyo, Filsafat ilmu dan Perkembangannya di Indonesia ( Jakarta: Bumi Aksara. 2007) hlm.71-72.
[4] Bachri Gazali, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. 2005) hlm.142.
[5] Deobold B. Van Dalen,”Ilmu-ilmu alam dan Ilmu-ilmu Sosial: Beberapa Perbedaan, dalam Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Yogyakarta: Gramedia Pustaka. 1997) hlm.134.
[6] B. Suprapto, “Aturan Permainan dalam Ilmu-ilmu Alam”, dalam dalam Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Yogyakarta: Gramedia Pustaka. 1997) hlm.129.
[7] Bachri Gazali, Opcit. Hlm.147
[8] Heri Susanto, Filsafat Ilmu Sosial. (Yogyakarta: Gama Media.2001). hlm.23
[9] Richard S. Rudner, “Perbedaan antara Ilmu Alam dan Ilmu Sosial: Suatu Pembahasan”, dalam  Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Yogyakarta: Gramedia Pustaka. 1997) hlm.144.
[10] Bachri Gazali,Opcit,. hlm.153
[11] M.Amin Abdullah, Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), 20.