PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ilmu memiliki
kedudukan mendasar karena hampir disetiap aktivitas manusia dikendalikan oleh
ilmu. Ilmu semakin berkembang mengikuti pertambahan kebutuhan manusia disegala
aspek, oleh karena itu berkembanglah disiplin-disiplin ilmu, yakni ilmu alam,
ilmu-ilmu sosial-humaniora dan ilmu-ilmu agama. Ilmu alam lahir untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan fisik, material dan mekanis-teknis dari manusia terhadap
alam. Ilmu sosial berkembang memenuhi kebutuhan dasar manusia yang bersifat non
material, sedangkan ilmu agama dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan moral dan
spiritual-religius manusia
Ketiga disiplin
ilmu tersebut memiliki kekhasan epistemologis masing-masing. Kekhasan ini
tergambar dalam cara kerja ilmu-ilmu tersebut yang berbeda satu sama lain.
Semestinya ketiga disiplin ilmu ini dapat berkembang secara seimbang, namun
pada kenyataannya terkadang masyarakat memandang sebelah mata salah satunya.
Hal ini kurang tepat, sebab pada kenyataannya ketiga disiplin ilmu ini
sama-sama penting dan saling melengkapi satu sama lain.
B. Rumusan Masalah
Dari
uraian singkat dalam latar delakang diatas, muncul beberapa pertanyaan yang
sekaligus menjadi rumusan masalah yang akan menuntun dalam pembahasan makalah
berikut ini:
1. Bagaimana
cara kerja ilmu alam, ilmu sosial-humaniora dan ilmu agama?
2. Bagaiman
hubungan antar kerja ketiga disiplin ilmu tersebut dan bagaimana mengintegrasi
interkoneksika ketiganya?
PEMBAHASAN
- Susunan Ilmu Pengetahuan
Sebelum
membahas menganai cara kerja ilmu sosial-humaniora, ilmu alam dan ilmu agama,
penulis akan sedikit memaparkan mengenai metode keilmuan secara umum. Gaston
Bachelard menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu produk pemikiran
manusia yang sekaligus menyesuaikan antara hukum-hukum pemikiran dengan dunia
luar. Dengan kata lain, ilmu penegtahuan mengandung dua aspek, yaitu subjektif
dan objektif.[1]
Dapat
dikatan sebagai ilmu pengetahuan apabila mencakup enam unsur, yaitu[2]:
- Adanya masalah (problem); Disebut masalah yang ilmiah jika masalah tersebut dihadapi dengan sikap dan metode ilmiah dan berhubungan dengan masalah dan solusi ilmiah lain secara sistematis.
- Adanya sikap, dalam arti sikap ilmiah.
- Menggunakan metode ilmiah.
- Adanya aktivitas atau riset ilmiah.
- Adanya kesimpulan, yaitu pemahaman yang dicapai sebagai hasil pemecahan masalah.
- Adanya pengaruh. Pengaruh yang dimaksud mencakup dua hal yakni pengaruhnya terhadap ilmu terapan dan terhadap masayarakat dan peradaban.
Pengaruh yang dimaksud mencakup dua hal yakni pengaruhnya
terhadap ilmu terapan dan terhadap masayarakat dan peradaban. Ilmu pengatahuan
dikembangkan melalui metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur yang
mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, langkah dan cara teknis untuk
memperoleh pengetahuan atau mengembangkan pengetahuan yang ada. Metode ilmiah
tersebut terangkum dalam enam tahap berikut[3]:
- Perumusan masalah: dirumuskan secara tepat dan jelas dalam bentuk pertanyaan agar ilmuwan memiliki jalan untuk mngetahui fakta-fakta apa saja yang harus dikumpulkan.
- Pengamatan dan pengumpulan data atau observasi: penyelidikan dalam tahap ini memiliki corak empiris dan induktif yang diarahakan pada pengumpulan data.
- Pengamatan dan klasifikasi data: ditekankan pada penyusunan fakta-fakta dalam kelompok, jenis dan kelas tertentu berdasarkan sifat yang sama.
- Perumusan pengetahuan (definisi): ilmuwan mengadakan analisis dan sintesis sacara induktif. Melalui analisis dan sintesis ilmuwan mengadakan generalisasi (kesimpulan umum). Dalam tahap ini teori telah terbentuk.
- Tahap ramalan (prediksi): teori yang sudah terbentuk diturunkan dalam bentuk hipotesis
- Pengujian hipotesis atau verivikasi: jika fakta tidak mendukung hipotesis, maka hipotesis harus diubah, dibongkar dan diganti dengan hipotesis lain dan semua kegiatan ilmiah harus dimulai lagi dari permulaan. Data empiris penentu benar tidaknya hipotesis.
- Cara Kerja Ilmu-ilmu Alam
Dalam sejarah perkembangan ilmu, ilmu-ilmu alam
berkembang lebih awal dan pesat. Sebelum filsafat muncul, ilmu fisika, metematika, kimia dan astronomi
telah lam menjadi perbincangan. Hal ini wajar jika dilihat dari segi kedektan
hubungan manusia dengan dunia yang sifatnya fisikal dan material yang mudah
diamati dan memberikan manfaat yang bersifat praktis dan langsung bisa dirasakan.
Ilmu alam sangat penting bagi kehidupan manusia terutama untuk pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan material dan praktis manusia. Dilihat dari sifat
objeknya, cara kerja ilmu alam bisa
dirangkum dalam prinsip-prinsip seperti berikut ini[4]:
a. Gejala
Alam Bersifat Fisik-Statis
Ilmu-ilmu alam berhubungan dengan gejal alam. Ilmu
alam berhubungan dengan satu jenis gejala yaitu gejala yang bersifat fisik yang
bersifat umum. Penelaahannya meliputi beberapa variabel dalam jumlah yang
relatif kecil yang dapat diukur secara tepat.[5]
Dari gejala yang sifatnya fisikal, terukur dan
teramati, gejala-gejala alam memiliki sifat statis dari waktu ke waktu. Karena
statis jumlah variabel dari gejala alam
sebagai objek yang diamati juga relatif lebih sederhana dan sedikit.
b. Objek
Penelitian Bisa Berulang
Ilmu alam membatasi diri dengan hanya membahas
gejala-gejala alam yang dapat diamati. Karena sifat gejala alam fisikal-statis,
objek penelitian dalam ilmu alam tidak mengalami perubahan atau tetap. Dengan
begitu, ahli ilmu alam dapat mengulang kejadian yang sama setiap waktu dan
mengamati kejadian tertentu secara langsung. Dan dari pengamatannya pun akan
menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum dan tidak akan mengubah
karakteristik obyek yang ditelaah.
c. Pengamatan
Relatif Mudah dan Simpel
Pengamatan dalam ilmu alam relatif lebih mudah
karena dapat dilakukan secara langsung dan dapat diulang. Pengamatn yang
dimaksud disini lebih luas dari pengamatan langsung menggunakan panca indera
yang lingkup kemampuannya terbatas. Banyak gejala alam yang dapat teramati
hanya dengan menggunakan alat bantu, misalnya mikroskop dll. .Jika seseorang menemukan
gejala alam yang baru, maka ia perlu memberitahukan tentang lingkungan,
peralatan, serta cara pengamatan yang digunakan sehingga memungkinkan orang
lain mengamati kembali.[6]
d. Peneliti
Lebih Sebagai Penonton
Prinsip pengamatan dalam ilmu alam adalaha prinsip
objektif, artinya kebenaran disimpulkan berdasarkan objek yang diamati.
Pengamat tidak terlibat atau tidak berpengaruh terhadap objek yang diamati.
Ilmuawan alam adalah penonton alam, dia hanya mengamati alam dan kemudian
memperlihatkan kepada orang lain hasil pengamatannya tanpa sedikit pun
melibatkan subjektivitasnya dan tidak terlibat pula secara emosional.
Ahli ilmu alam menyelidiki proses alam dan menyusun
hukum yang bersifat umum mengenai suatu proses. Dia juga tidak bermaksud untuk
mengubah alam atau harus setuju dan tidak setuju. Ahli ilmu alamhanya berharap
bahwa pengetahuan mengenai gejala fisik dari alam akan memungkinkan manusia
untuk memanfaatkan proses tersebut.
e.
Daya Prediktif yang Relatif Lebih Mudah Dipahami
Ilmu-ilmu alam tidak hanya sebata mengumpulkan
gejala dan merumuskan teori, melainkan gejala
yang diketahui dan rumusan teori tersebut digunakan untuk memprediksikan
kejadian yang mungkin akan timbul dari gejala tersebut. ilmu yang hanya saggup
mengumpulkan informasi dan merangkaikannya akan berupa ilmu yang pasif. Untuk
menuntut suatu teori ilmu-ilmu alam agar tidak hanya sanggup menguraikan gejala
yang telah diketahui tetapi sanggup meramalkan gejala alam lain yang belum
dikenal, sebagai konsekuesi logis dari pola penalaran yang digunakan. Gejala ramalan ini juga harus dalam bentuk operasional
sehingga memungkinkan untuk diuji dengan eksperimen.
- Cara Kerja Ilmu-ilmu Sosial-Humaniora
Ilmu Sosisal-Humaniora perkembangannya tidak sepesat
ilmu-ilmu alam. Hal ini karena, objek penelitiannya tidak sekedar sebatas fisik
dan material tetapi lebih dibalik fisik dan bersifat lebih
kompleks.dibandingkan dengan ilmu alam, ilmu sosial-humaniora nilai manfaatnya
tidka bis dirasakan secara langsung. Ilmu sosial-humaniora ini dikembangkan
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia yang sifatnya abstrak dan
psikologis. Dilihat dari objeknya, ilmu sosia-humaniora dapat dirangkum dalam
prinsip-prinsip seperti berikut:
a.
Gejala Sosial-Humaniora Bersifat Nonfisik, Hidup dan Dinamis
Berbeda
dengan ilmu-ilmu alam, gejala-gejala yang diamati dalam ilmu sosial humaniora
bersifat hidup dan bergerak secara dinamis. Gejala sosial juga mempunyai
karakteristik fisik namun diperlukan gejala-gejala penjelasan yang lebih dalam
untuk mampu menerangkan gejala tersebut, misalnya aspek sosiologis, psikologis
atau biologis dan lain sebagainya. Ilmu sosial mempelajari manusia baik selaku
individu maupun sebagai anggota dari suatu kelompok. Objek studi ilmu
sosial-humaniora adalah manusia adalah manusia yang lebih spesifik lagi pada
aspek sebelah dalam (inner world).
Ilmu sosial lebih menekankan pada apa yang berada dibalik manusia secara fisik.[7]
Etos ilmu pengetahuan sosial adalah mencari kebenaran objektif. Objektif dalam
ilmu sosial diartikan dengan memandang kenyataan sebagaimana adanya (das sein) dengan menggunakan metodologi
serta teori sosial berdasarkan realitas objektif yang dijadikan lapangan
penyelidikan[8].
b.
Objek Penelitian Tidak bisa Berulang
Ahli ilmu sosial tidak mungkin melihat, mendengar,
meraba, atau mengecap gejala yang sudah terjadi di masa lalu. Hakiki dari
gejala ilmu sosial tidak memungkinkan pengamatan secara langsung dan berulang.
Kalau pun mungkin dapat dilakukan secara langsung, namun terdapat beberapa
kesulitan untuk melakukan hal tersebut secara keseluruhan. Kejadian sosial sering kali bersifat spesifik dalam
konteks histori tertentu. Ilmu sosial-humaniora hanya memaknai, memahami dan
menafsirkan gejala-gejalanya, bukan menemukan dan menrangkan secara pasti. Kesimpulan
yang didapat dalam suatu penelitian ilmu sosial juga akan berbeda-beda. Karena
obyek yang diteliti antara satu dengan yang lain adalah berbeda dan hanya
berlaku secara perorangan.
c.Pengamatan Relatif
Lebih Sulit dan Kompleks
Gejala-gejala
sosial-humaniora bergerak bahkan cenderung berubah, bisa dibayangkan ilmuwan
dalam mengamati lebih sulit dan kompleks. Sebab yang diamati adalah apa yang
ada dibalik penampakan fisik yang berupa bentuk-bentuk hubungan sosial. Manusia
memiliki free will dan kesadaran, karena itulah ia bukan benda yang ditentukan
menurut hukum-hukum yang berlaku sebagaimana benda mati yang tak memiliki
kesadaran apalagi kebebasan berkehendak. Oleh karena iu, jelas bahwa pengamatan
dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora jauh lebih kompleks.
Ahli ilmu sosial juga
mempelajari fakta misal kondisi yang terdapat dalam masyarakat. Untuk itu
mereka mempalajari faktor-faktor dan ciri-cirinya, namun ahli ilmu sosial tidak
hanya berhenti sampai disisni. Dia akan cenderung untuk mengembangakn pemikiran
mnegenai pola masyarakat yang lebih didambakan. Obyek penelaahan ilmu sosial
sangat intim berhubungan dengan manusia yang penuh tujuan tertentu, makhluk
yang selalu mencari nilai dalam aspek-aspek kehidupannya, ilmu sosial menghadapi
masalah unik yang tidak terdapat dalam
ilmu alam.
d. Subjek Peneliti juga Sebagai Bagian Integral dari
Objek yang Diamati
Ahli ilmu sosial bukanlah sebagi penonton yang
menyaksikan suatu proses kejadian sosial. Dia merupakan bagian integral
dari kehidupan yang ditelaahnya. Kterlibatannya secara emosional terhadap
nilai-nilai tertentu menyebabkan seorang ahli ilmu sosial cenderung untuk ikut
bersetuju atau menolak suatu proses sosial tertentu. Menghilangkan
kecenderungan-kecendrungan yang bersifat pribadi untuk tetap obyektif adalah
sukar dalam penelaahan sosial. Oleh karena itu, ilmu-ilmu sosial pengamatannya
menggunakan Verstehen atau memaknai ,
mengungkapkan makna, dan tidak sekedar menjelaskan. Metode
verstehen (memahami), yaitu pemahaman secara subjektif atas makna
tindakan-tindakan sosial, dengan cara menafsirkan objeknya yang berupa dunia
kehidupan sosial[9].
e.
Memiliki Daya Prediktif yang Relatif Lebih Sulit dan Tidak Terkontrol
Suatu teori sebagai hasil penagmatan
sosial-humaniora tidak serta merta bisa dengan mudah mempreiksikan kejadian
sosial berikutnya pasti terjadi. Hal ini karena dalam ilmu sosial, pola
perilaku sosial-humaniora yang sama belum tentu akan akan mengakibatkan
kejadian yang sama. Namun bukan berarti hasil temuan dalam ilmu sosial tidak
bisa dipakai sama sekali untuk meramalka kejadian sosial lain sebagai akibatnya
dalam waktu dan tempat yang berlainan, tetap bisa namun tidak semudah dalam
ilmu-ilmu alam.
Ahli ilmu sosial juga mempelajari
fakta misal kondisi yang terdapat dalam masyarakat. Untuk itu mereka memepalajari faktor-faktor dan
ciri-cirinya, namun ahli ilmu sosial tidak hanya berhenti sampai disini. Dia
akan cenderung untuk mengembangakn pemikiran mengenai pola masyarakat yang
lebih didambakan. Obyek penelaahan ilmu sosial sangat intim berhubungan dengan
manusia yang penuh tujuan tertentu, makhluk yang selalu mencari nilai dalam
aspek-aspek kehidupannya, ilmu sosial menghadapi masalah unik yang tidak
terdapat dalam ilmu alam.
Ahli ilmu
sosial harus mengatsi berbagai rintangan jika mereka berharap untuk mebuat
kemajuan yang berarti dalam menerangkan, meramalkan, dan mengontrol kehidupan
manusia.
- Cara Kerja Ilmu-ilmu Agama
Ilmu agama juga merupakan suatu disiplin ilmu yang
penting bagi kehidupan manusia. Ilmu agama pun juga memiliki ciri ilmiah yang
memiliki kekhasan dibanding ilmu alam dan ilmu sosial. Ciri tersebut tergambar
dalam cara kerja ilmu-ilmu keagamaan:
a.
Gejala Keagamaan sebagai Ekspresi Keimanan dan Pemahaman atas Teks Suci
Gejala keagamaan tampak pada
perilaku-perilaku keagamaan orang beragama dan masyarakat beragama, dan pada
karya seni dan budaya meski intinya juga ekspresi dari penghayatan keagamaan
orang beragama. Gejala keagamaan juga merupakan sesuatu yang bergerak, tidak
statis yang sekaligus mengindikasi suatu dinamika keimanan sebagai hasil dari
pengalaman dan pemahaman atau teks-teks suci keagamaan yang diyakini. Hal yang tidak ada dalam gejala
sosial-humaniora adalah aspek ekspresi keimanan religius ini. Objek kajian
dalam ilmu sosial-humaniora adalah manusia yang lebih pada aspek inner
worldnya. Sama dengan objek kajian ilmu keagamaan adalah manusia pada inner worldnya juga, namun lebih
menekankan pada aspek religiusitasnya.[10]
b.
Objek Penelitian Unik dan Tidak Bisa Diulang
Objek penelitian unik kerena menyangkut
keyakinan beragama dan juga teks suci keagamaan yang diyakini orang beragama.
Dalam ilmu agama, keyakinan agama dijadikan sumber pengamatan mengapa muncul
perilaku sosial orang tertentu beragama. Sama dengan ilmu sosial-humaniora,
objek penelitian ilmu agama tak dapat diulang, karena kejadian keagamaan
tercermin dalam perilaku keagamaan orang beragama pada kurun waktu dan tempat
tertentu tidak mungkin bisa direkonstruksi orang sesudahnya persis kejadian
pada awalnya.
c.
Pengamatan Sulit dan Kompleks dengan Interpretasi Teks-teks Suci Keagamaan
Pengamatan dalam ilmu agama mirip dengan
ilmu sosial-humaniora yakni sulit dan kompleks karena melihat dan memaknai apa
yang dibalik keiatan dan perilaku fisik dan empiris manusia beragama. Hal
tersebut merupakan ekspresif dari keimanan mereka terhadap Tuhan sebagai hasil
pemahaman terhadap teks kitab suci. Pengamatan dalam ilmu-ilmu keagamaan juga
harus “menyelami” dan menginterpretasikan item-item dalam teks-teks suci.
Perilaku keagamaan ketika diamati jelas bermuatan multiinterpretasi baik
terhadap gejala-gejala yang ditangkap maupun dari segi penafsiran teks-teks
sucinya.
d.
Subjek Peneliti juga sebagai Bagian Integral dari Objek yang Diamati
Prinsipnya adalah sama seperti dalam
ilmu-ilmu sosial-humaniora, pengaamat
atau peneliti dalam ilmu keagamaan juga tidak bisa dilepaskan dan merupakan
bagian integral dari objek yang diamati apalagi yang diamati adalah perilaku
sosial-humaniora manusia beragama atau aktivitas keagamaan. Bahkan ketika
mengkaji teks-teks suci keagamaan, seorang pengamat pasti juga terlibat secara
emosional dan rasional dalam memahami dan menyimpulkan maknanya.
e.
Memiliki Daya Prediktif yang relatif Lebih Sulit dan Tak Terkontrol
Suatu teori sebagai hasil pengamatan
terhadap aktivitas-aktivitas keagamaan tidak serta merta bsa dengan mudah untuk
meramalkan aktivitas keagamaan lainnya yang akan terjadi. Hal ini karena dalam
ilmu keagamaan, pola perilaku keagamaan yang sama belum tentu akan menghasilkan
kejadian-kejadian berikutnya yang sama. Namun bukan berarti hasil temuan dalam
ilmu keagamaan tidak bisa dipakai sama sekali untuk meramalkan kejadian yang
bersifat religius lain sebagai akibatnya dalam waktu dan tempat berlainan, tetap
bisa tetapi tidak mungkin sepasti dan semudah dalm ilmu alam. Dalam ilmu
keagamaan juga harus mempertimbangkan keragaman pemahaman orang-orang beragama
terhadap ajaran mereka dan hal ini menambah daya prediktif ilmu-ilmu agama
semakin sulit untuk dipastikan.
- Interkonektif Ilmu Umum dan Ilmu Agama
Ilmu-ilmu keislaman memiliki prinsip yang sama
dengan ilmu keagamaan pada umumnya. Yang membedakan adalah teks-teks suci yang
diyakini, yakni al-Qur’an dan al-Hadits. Sumber-sumber studi islam tersebut
telah melahirkan banyak disiplin ilmu seperti Studi Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an
dan Teori Pemahaman Hadis, Fiqih Ushul Fiqh, dll. Prinsip kerja ilmu keislaman
mengikuti sebagaiman cara kerja ilmu-ilmu keagamaan, yakni mempertimbangkan
gejala-gejala keislaman yang tercermin dalam karya keislaman dan aktivitas
keagamaan islam dari penganutnya yang merupakaan ekspresi keberagaman islam.
Keilmuan islam yang interkonektif dan
interkomunikatif selalu melibatkan berbagai dimensi kehidupan dari manusia dan
melibatkan berbagai perspektif. Dalam keilmuan islam yang interkonektif dan
interkomunikatif menolak suatu pandangan dunia hiatm-putih dan tidak ada
wilayah “abu-abu”, menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu umum dan menolak
perlombaan antar disiplin ilmu memperlihatkan disiplin ilmu apa yang lebih
superior dari yang lain. Penolakan ini menunjukkan ada suatu dukungan kelebihan
masing-masing disiplin ilmu dan semuanya memiliki nilai kontribusi yang
spesifik terhadap suatu realitas.
Pengembangan studi islam berpijak pada tiga hal;
yakni hadharah al-nash (Normativitas Teks-teks Suci), hadharah falsafah
(Filsafat) dan hadharah al-‘ilm (ilmu alam dan sosial-humaniora). Pemaknaan
interpretatif atas nash, al-Qur’an dan al-Hadis tidak mengabaikan
perspektif-perspektif keilmuandari berbagai disiplin ilmu yang dimungkinkn ada
dan berkembang.[11] Dengan
demikian, ilmu-ilmu dikembangkan tidak dalam model singel entity atau murni
teks tanpa konteks, tidak dalam model isolated entities atau unit-unit
tertutup, yakni normativitas teks suci jalan sendiri, falsafah jalan sendiri
dan ilmu jalan sendiri tanpa jendela interkoneksi dan interkomunikasi,
melainkan dalam model interconnected entities ada saling hubung antar
ketiganya.
[2] Archie J. Bahm, “What is
science“, dalam Mohammad Muslih, Filsafat
Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,( Yogyakarta: Belukar. 2004) hal 46.
[3] Surajiyo, Filsafat ilmu dan Perkembangannya di Indonesia ( Jakarta: Bumi Aksara.
2007) hlm.71-72.
[5] Deobold
B. Van Dalen,”Ilmu-ilmu alam dan Ilmu-ilmu Sosial: Beberapa Perbedaan, dalam
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam
Perspektif (Yogyakarta: Gramedia Pustaka. 1997) hlm.134.
[6] B. Suprapto, “Aturan Permainan dalam Ilmu-ilmu Alam”, dalam dalam Jujun S.
Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif
(Yogyakarta: Gramedia Pustaka. 1997) hlm.129.
[9] Richard
S. Rudner, “Perbedaan antara Ilmu Alam dan Ilmu Sosial: Suatu Pembahasan”,
dalam Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Yogyakarta:
Gramedia Pustaka. 1997) hlm.144.
[11] M.Amin
Abdullah, Kerangka Dasar Keilmuan dan
Pengembangan Kurikulum, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2004), 20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar