Kamis, 03 Januari 2013

Tinjauan Filosifis Tentang Pendidikan Karakter



A.  Definisi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan karakter. Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.2 Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. 3
Sedangkan istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Maka pendidikan karakter dapat diartikan sebagai sebuah system yang menamkan nilai kepada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melakasanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan, diri sendiri, maupun sesama manusia.4 Menurut Tazkiroatun Musfiroh, karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills).
B.  Landasan Filosofis Pendidikan Karakter
Setiap paradigma pendidikan tidak bisa lepas dari akar filosofisnya. Dalam filsafat pendidikan terdapat beberapa aliran yang saling merekonstruksi masing-masing paradigma pendidikan tersebut. Dalam filsafat kontemporer terdapat jenis aliran filsafat diantaranya aliran progresivisme, esensialisme, perenialisme, eksistensialisme, dan rekonstruksialisme.
Dalam perspektif progresivisme, pendidikan bukanlah sekadar memberikan pengetahuan, lebih dari itu pendidikan melatih kemampuan berpikir (aspek kognitif). Akal membuat seseorang bersifat kreatif dan dinamis sebagai bekal dalam menghadapi dan menyelesaikan problem yang dihadapi sekarang maupun masa depan. Aliran inilah yang menjadi dasar atau landasan terbentuknya pendidikan karakter. Pandangan yang mengatakan bahwa manusia memiliki potensi-potensi dan kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah.5Progresivisme yang juga menaruh kepercayaan terhadap kebebasan manusia dalam menentukan hidupnya, serta lingkungan hidup yang dapat mempengaruhi kepribadiannnya.
Pada ranah Islam kita mengenal istilah filsafat akhlak. Fisafat akhlak ini sangat dekat dengan tasawuf, karena tasawuf sebagai akar dari filsafat akhlak yang memberikan pengaruh terhadap pembentukan karakter.6 Pemikir akhlak salah satunya adalah Al-Ghazali dengan karyanya Ihya Ulum al-Din. Pendidikan akhlak yang dipraktekkan secara terus menerus akan membentuk sebuah karakter seseorang. Pendidikan akhlak pada konteks ini menginspirasi terbentuknya pendidikan karakter dan penerapannya.
C.  Tujuan Pendidikan Karakter
            Pendidikan karakter memiliki beberapa tujuan mulia bagi kehidupan manusia. Menurut Presiden Republik Indonesia, Susillo Bambang Yudhoyono, pendidikan karakter memiliki tujuan sebagai berikut:
1.    Membentuk manusia Indonesia yang bermoral
     Hal ini merupakan upaya untuk menjawab tantangan perkembangan zaman yang menunjukkan adanya degradasi moral di Indonesia.
2.    Membentuk manusia Indonesia yang cerdas dan rasional
     Seseorang dikatakan cerdas dan rasional apabila ia mampu berfikir secara losgis, mengambil keputusan yang tepat, dan cerdas dlam memanfaatkan potensi yang dimilikinya.
3.    Membentuk manusia Indonesia yang inovativ dan suka bekerja keras
     Pendidikan karakter diselenggarakan dalam rangka menanamkan semangat bekerja keras, disiplin, kreatif, dan inovatif pada peserta didik yang diharapkan dapat mengangkat menjadi kepribadian dan karakternya.
4.    Membentuk manusia Indonesia yang optimis dan percaya diri
     Kurangmya sikap percaya diri dan optimis menjadikan bangsa kehilangan semangat untuk bersaing menciptakan kemajuan, untuk itu sifat ini perlu ditanamkan.
5.    Membentuk manusia Indonesia yang berjiwa patriot
     Berjiwa patriot yang dimaksud adalah berjiwa yang mencintai tanah airnya yang tercermin dalam sikap rela berkorban dan berjuang.
D.  Tahap-tahap Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter membutuhkan proses atau tahapan secara sisitematis dan gradual sesuai dengan fase pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan ( knowing), pelaksanaan (acting) dan kebiaasaan (acting). Tahap pertama adalah moral knowing atau pengetahuan tentang moral. Yang termasuk dalammoral knwing adalah kesadaraan moral, pengetahuan tentang nilai moral, penentuan sudut pandang, logika moral, keberanian dan pengenalan diri.
            Tahap kedua adalah moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral. Peguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran terhadap jati diri, kepekaan terhadap penderitaan orang lain, percaya diri, penegndalian diri dan kerendahan hati. Tahap ketiga adalah moral action yaitu perbutan atau tindakan moral. Untuk mendorong seseorang melakukan perbuatan yan baik perlu melihat tiga aspek yaitu kompetensi, keinginan dan kebiasaan.[1]        
            Sementara itu M.Furqon Hidayatullah mengklasifikasikan pendidikan karakater dalam beberapa tahap sesuai dengan hadits Rasulullah yaitu:
1.      Tahap Penanaman Adab (umur 5-6 tahun)
2.      Tahap Penanaman Tanggung Jawab (umur 7-8 tahun)
3.      Tahap Penanaman Kpedulian (umur 9-10 tahun)
4.      Tahap Penanaman Kemandirian (umur 11-12 tahun)
5.      Tahap Penanaman Pentingnya Bermasyarakat (13 tahun keatas).[2]
           
E.  Pendektan Dalam Penerapan Pendidikan Karakter
Terdapat beberapa pendekatan dalam penyelenggaraan pendidikan karakter yang dapat dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif
Pendekatan ini bertujuan membimbing seseorang dalam mengembangkan pertimbangan moralnya. Pendekatan ini dilakukan dengan cara meminta peserta didik mengemukakan masalah beserta penyelesaiannya, selanjutnya meminta peserta didik untuk memilih dari dua aktivitas moral serta alasan memilihnya. Dengan pendekatan ini guru hendaknya menerima pendapat siswa dengan terbuka untuk merumuskan suatu sistem bersam dan bukan keputusan sepihak. Sehingga peserta didik menaati peraturan bukan karena takut terhadap guru, namun karena memiliki kesadaran moral.
2.    Pendektan Analisis Nilai
Pendekatan ini membimbing siswa untuk berfikir logis dan sistematis dalam menyelesaikan suatu masalah yang mengandung nilai. langkah-langkahnya adalah dengan memperkenalkan siswa tentang masalah yang berkaitan dengan nilai dan membuat penilaian terhadap permasalahan tersebut. pendekatan ini melibatkan siwa secara aktif terutama dalam proses menganalisis nilai secara objektif berdasarkan fakta.
3.    Pendekatan Perilaku Sosial
Pendekatan ini daoat digambarkan sebagai stimulus-respon. Guru senantiasa memberikan stimulus dengan melibatkan siswa dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan moral dan memancing siswa untuk memberikan respon tertentu. Misalnya guru dan siswa mengunjungi panti asuhan, pani jompo dan lain sebagainya dan guru mengamati respon yang diberikan siswa.
4.    Pendekatan Kognitif
Pendekatan kognitf menekankan bahwa tingkah laku merupakan suatu proses mental.pendekatan ini merupakan perkembangan dari teori kognitif  Piaget yang membagi tahap kognisi menjadi empat yaitu tahap sensori motor, tahap pra perasional, tahap operasional konkret, dan tahap opeasonal formal. Pendekatan ini mengajak peserta didik untuk menganalisis suatu permasalahan yang kemudian menjadikannya sebagai pengalaman mental sekaligus pemahaman dan pengetahuan bagi siswa.
5.    Pendekatan Afektif
Pendekatan afektif atau pedekatan sikap yang menjelaskan bahwa konsep belajar sebagai upaya sadar untuk memperoleh perubahan perilaku secara keseluruhan. Aspek afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus yang dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk dipelajari.

F.   METODE PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER
Perlu adanya suatu metode agar penerapan pendidikan karakter dapat dilakukan semaksimal mungkin. Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple intelligence. Dalam Islam terdapat beberapa konsep sebagai pendekatan pembelajaran, antara lain:
1.    Metode Tilâwah. Untuk mengembangkan kemampuan membaca, tujuannya agar anak memiliki kefasihan berbicara dan kepekaan dalam melihat fenomena.
2.     Metode ta’lim. Untuk mengembangkan potensi fitrah berupa akal (pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient)).
3.    Metode tarbiyah. Metode tarbiyah digunakan untuk membangkitkan rasa kasih sayang, kepedulian dan empati dalam hubungan interpersonal antara guru dengan murid, sesama guru dan sesama siswa.
4.    Metode ta’dîb. Untuk mengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient).
5.     Metode tazkiyah. Untuk mengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Berfungsi juga untuk mensucikan jiwa.
6.    Metode tadlrib. Digunakan untuk mengembangkan keterampilan fisik, psikomotorik dan kesehatan fisik (physical quotient atau adversity quotient).[3]

            Jika ingin pendidikan karakter yang efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Relasi guru dengan siswa bukan monolog, melainkan dialog, sehingga siswa itu berkesempatan untuk mengeluarkan ide-ide dan pendapatnya.
Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Pesan moral mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap pelanggaran.
Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, tidak konsisten, dan tidak efektif.
G.    Dampak Pendidikan Karakter terhadap Keberhasian Akademik
Hasil studi Dr.Marvin Barkowitz dari Universitas of Missouri – St.Louis menunjukkan bahwa ada peningkatan motivasi belajar siswa di sekolah untuk meraih prestasi akademik di sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Dari hasil studi tersebut juga menunjukkan adanya penurunan drastis terhadap perilkaku negatif yang dapat menghambat keberahasilan akdemik siswa di sekolah-sekolah yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yang melibatkan aspek teori pengetahuan (kognitif), aspek perasaan (feeling), dan aspek tindakan (actif).
Jika pendidikan karakter ingin berhasil dalam membangun watak peserta didik maka harus dilkasanakan secara sistematis dan berkelanjutan. Pendidikan karakter akan membentuk siswa yang cerdas emosi. Cerdas emosi merupakan bekal yang penting untuk mempersiapkan peserta didik menyongsong masa depan.
Pendidikan karakter perlu ditanamkan sejak dini, sebab pendidikan karakter berkaitan secara langsung dengan kecerdasaan emosi. Anak yang mengalami masalah emosi umumnya akan mengalami kesulitan belajar, kesulitan dalam bergaul, dan tidak dapat mengontrol emosi. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa penanaman pendidikan karakter sejakdini berdampak positif terhadap pencapaian akademis.


2 Undang-undang no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 1 Ayat 1.
3 Fuad Ihsan. Dasar-dasar Kependidikan: komponen MKDK. ( Jakarta: Rineka Cipta. 2005). hlm.5
4 Nurla Isna Aunillah. Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah.(Yogyakarta: Penerbit Laksana. 2011) hlm.18
[1] Jamal Ma’mur Asmuni, “Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah..”...,, hal.85
[2] Ibid.,hal.93
[3] Mansur Muslich,Pendidikan Karakter, Menjawab tantangan Kritis Multidimensional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hla.183

Tidak ada komentar:

Posting Komentar