A.
Definisi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan
karakter. Dalam Undang-undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.2 Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan umumnya berarti daya upaya
untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti
(kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. 3
Sedangkan istilah
karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “charakter”, yang antara lain
berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau
akhlak. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang
atau sekelompok orang. Maka pendidikan karakter dapat diartikan sebagai sebuah system yang menamkan nilai
kepada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu,
tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melakasanakan nilai-nilai, baik
terhadap Tuhan, diri sendiri, maupun sesama manusia.4
Menurut Tazkiroatun Musfiroh, karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills).
B. Landasan Filosofis Pendidikan Karakter
Setiap paradigma pendidikan
tidak bisa lepas dari akar filosofisnya. Dalam filsafat pendidikan terdapat
beberapa aliran yang saling merekonstruksi masing-masing paradigma pendidikan
tersebut. Dalam filsafat kontemporer terdapat jenis aliran filsafat diantaranya
aliran progresivisme, esensialisme, perenialisme, eksistensialisme, dan
rekonstruksialisme.
Dalam perspektif
progresivisme, pendidikan bukanlah sekadar memberikan pengetahuan, lebih dari
itu pendidikan melatih kemampuan berpikir (aspek kognitif). Akal membuat
seseorang bersifat kreatif dan dinamis sebagai bekal dalam menghadapi dan
menyelesaikan problem yang dihadapi sekarang maupun masa depan. Aliran inilah yang
menjadi dasar atau landasan terbentuknya pendidikan karakter. Pandangan yang
mengatakan bahwa manusia memiliki potensi-potensi dan kemampuan untuk mengatasi
masalah-masalah.5Progresivisme yang juga
menaruh kepercayaan terhadap kebebasan manusia dalam menentukan hidupnya, serta
lingkungan hidup yang dapat mempengaruhi kepribadiannnya.
Pada ranah Islam kita mengenal
istilah filsafat akhlak. Fisafat akhlak ini sangat dekat dengan tasawuf, karena
tasawuf sebagai akar dari filsafat akhlak yang memberikan pengaruh terhadap
pembentukan karakter.6 Pemikir
akhlak salah satunya adalah Al-Ghazali dengan karyanya Ihya Ulum al-Din.
Pendidikan akhlak yang dipraktekkan secara terus menerus akan membentuk sebuah
karakter seseorang. Pendidikan akhlak pada konteks ini menginspirasi
terbentuknya pendidikan karakter dan penerapannya.
C. Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter memiliki beberapa tujuan mulia bagi kehidupan manusia. Menurut
Presiden Republik Indonesia, Susillo Bambang Yudhoyono, pendidikan karakter
memiliki tujuan sebagai berikut:
1.
Membentuk manusia Indonesia yang bermoral
Hal ini merupakan upaya untuk menjawab
tantangan perkembangan zaman yang menunjukkan adanya degradasi moral di
Indonesia.
2.
Membentuk manusia Indonesia yang cerdas dan rasional
Seseorang dikatakan cerdas dan rasional apabila
ia mampu berfikir secara losgis, mengambil keputusan yang tepat, dan cerdas
dlam memanfaatkan potensi yang dimilikinya.
3. Membentuk
manusia Indonesia yang inovativ dan suka bekerja keras
Pendidikan karakter diselenggarakan dalam
rangka menanamkan semangat bekerja keras, disiplin, kreatif, dan inovatif pada
peserta didik yang diharapkan dapat mengangkat menjadi kepribadian dan
karakternya.
4. Membentuk
manusia Indonesia yang optimis dan percaya diri
Kurangmya sikap percaya diri dan optimis
menjadikan bangsa kehilangan semangat untuk bersaing menciptakan kemajuan,
untuk itu sifat ini perlu ditanamkan.
5. Membentuk
manusia Indonesia yang berjiwa patriot
Berjiwa patriot yang dimaksud adalah
berjiwa yang mencintai tanah airnya yang tercermin dalam sikap rela berkorban
dan berjuang.
D.
Tahap-tahap Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter membutuhkan proses atau
tahapan secara sisitematis dan gradual sesuai dengan fase pertumbuhan dan
perkembangan anak didik. Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan ( knowing), pelaksanaan (acting) dan kebiaasaan (acting). Tahap pertama adalah moral knowing atau pengetahuan tentang
moral. Yang termasuk dalammoral knwing adalah kesadaraan moral, pengetahuan
tentang nilai moral, penentuan sudut pandang, logika moral, keberanian dan
pengenalan diri.
Tahap
kedua adalah moral feeling atau
perasaan (penguatan emosi) tentang moral. Peguatan ini berkaitan dengan
bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran
terhadap jati diri, kepekaan terhadap penderitaan orang lain, percaya diri,
penegndalian diri dan kerendahan hati. Tahap ketiga adalah moral action yaitu perbutan atau tindakan moral. Untuk mendorong
seseorang melakukan perbuatan yan baik perlu melihat tiga aspek yaitu
kompetensi, keinginan dan kebiasaan.[1]
Sementara
itu M.Furqon Hidayatullah mengklasifikasikan pendidikan karakater dalam
beberapa tahap sesuai dengan hadits Rasulullah yaitu:
1. Tahap Penanaman Adab (umur 5-6 tahun)
2. Tahap Penanaman Tanggung Jawab (umur 7-8
tahun)
3. Tahap Penanaman Kpedulian (umur 9-10
tahun)
4. Tahap Penanaman Kemandirian (umur 11-12
tahun)
5. Tahap Penanaman Pentingnya Bermasyarakat
(13 tahun keatas).[2]
E.
Pendektan Dalam Penerapan Pendidikan
Karakter
Terdapat beberapa pendekatan dalam penyelenggaraan
pendidikan karakter yang dapat dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif
Pendekatan ini bertujuan membimbing seseorang dalam mengembangkan
pertimbangan moralnya. Pendekatan ini dilakukan dengan cara meminta peserta
didik mengemukakan masalah beserta penyelesaiannya, selanjutnya meminta peserta
didik untuk memilih dari dua aktivitas moral serta alasan memilihnya. Dengan
pendekatan ini guru hendaknya menerima pendapat siswa dengan terbuka untuk
merumuskan suatu sistem bersam dan bukan keputusan sepihak. Sehingga peserta
didik menaati peraturan bukan karena takut terhadap guru, namun karena memiliki
kesadaran moral.
2. Pendektan Analisis Nilai
Pendekatan ini membimbing siswa untuk berfikir logis dan sistematis dalam
menyelesaikan suatu masalah yang mengandung nilai. langkah-langkahnya adalah
dengan memperkenalkan siswa tentang masalah yang berkaitan dengan nilai dan
membuat penilaian terhadap permasalahan tersebut. pendekatan ini melibatkan
siwa secara aktif terutama dalam proses menganalisis nilai secara objektif
berdasarkan fakta.
3. Pendekatan Perilaku Sosial
Pendekatan ini daoat digambarkan sebagai stimulus-respon. Guru senantiasa
memberikan stimulus dengan melibatkan siswa dalam berbagai kegiatan yang
berkaitan dengan moral dan memancing siswa untuk memberikan respon tertentu.
Misalnya guru dan siswa mengunjungi panti asuhan, pani jompo dan lain
sebagainya dan guru mengamati respon yang diberikan siswa.
4. Pendekatan Kognitif
Pendekatan kognitf menekankan bahwa tingkah laku merupakan suatu proses
mental.pendekatan ini
merupakan perkembangan dari teori kognitif Piaget yang membagi tahap kognisi menjadi
empat yaitu tahap sensori motor, tahap pra perasional, tahap operasional
konkret, dan tahap opeasonal formal. Pendekatan ini mengajak peserta didik
untuk menganalisis suatu permasalahan yang kemudian menjadikannya sebagai
pengalaman mental sekaligus pemahaman dan pengetahuan bagi siswa.
5. Pendekatan Afektif
Pendekatan afektif atau pedekatan sikap yang menjelaskan bahwa konsep
belajar sebagai upaya sadar untuk memperoleh perubahan perilaku secara
keseluruhan. Aspek afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan
tidak ada materi khusus yang dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk
dipelajari.
F.
METODE PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER
Perlu adanya suatu metode agar penerapan pendidikan karakter dapat dilakukan semaksimal mungkin. Setiap anak
dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati
dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple
intelligence. Dalam Islam terdapat beberapa konsep sebagai pendekatan pembelajaran, antara lain:
1. Metode Tilâwah. Untuk mengembangkan kemampuan membaca,
tujuannya agar anak memiliki kefasihan berbicara dan kepekaan dalam melihat
fenomena.
2. Metode ta’lim. Untuk mengembangkan potensi fitrah berupa akal
(pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient)).
3. Metode tarbiyah. Metode tarbiyah digunakan untuk
membangkitkan rasa kasih sayang, kepedulian dan empati dalam hubungan
interpersonal antara guru dengan murid, sesama guru dan sesama siswa.
4. Metode ta’dîb. Untuk mengembangan kecerdasan emosional (emotional
quotient).
5. Metode tazkiyah. Untuk mengembangan kecerdasan spiritual (spiritual
quotient). Berfungsi juga untuk mensucikan jiwa.
6. Metode tadlrib. Digunakan untuk mengembangkan keterampilan
fisik, psikomotorik dan kesehatan fisik (physical quotient atau adversity
quotient).[3]
Jika
ingin pendidikan karakter yang efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis
desain dalam pemrogramannya. Pertama, desain pendidikan karakter berbasis
kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai
pembelajar di dalam kelas. Relasi guru dengan siswa bukan
monolog, melainkan dialog,
sehingga siswa itu berkesempatan untuk mengeluarkan ide-ide dan pendapatnya.
Kedua, desain pendidikan
karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah
yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah
agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Pesan moral
mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata
peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap pelanggaran.
Ketiga, desain pendidikan
karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang
sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat
umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan
pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Pendidikan karakter hanya
akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara
simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, tidak konsisten, dan tidak efektif.
G.
Dampak Pendidikan Karakter terhadap
Keberhasian Akademik
Hasil studi
Dr.Marvin Barkowitz dari Universitas of Missouri – St.Louis menunjukkan bahwa
ada peningkatan motivasi belajar siswa di sekolah untuk meraih prestasi
akademik di sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Dari hasil studi
tersebut juga menunjukkan adanya penurunan drastis terhadap perilkaku negatif
yang dapat menghambat keberahasilan akdemik siswa di sekolah-sekolah yang
secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter. Pendidikan karakter
adalah pendidikan budi pekerti plus, yang melibatkan aspek teori pengetahuan
(kognitif), aspek perasaan (feeling),
dan aspek tindakan (actif).
Jika
pendidikan karakter ingin berhasil dalam membangun watak peserta didik maka
harus dilkasanakan secara sistematis dan berkelanjutan. Pendidikan karakter
akan membentuk siswa yang cerdas emosi. Cerdas emosi merupakan bekal yang
penting untuk mempersiapkan peserta didik menyongsong masa depan.
Pendidikan
karakter perlu ditanamkan sejak dini, sebab pendidikan karakter berkaitan
secara langsung dengan kecerdasaan emosi. Anak yang mengalami masalah emosi
umumnya akan mengalami kesulitan belajar, kesulitan dalam bergaul, dan tidak
dapat mengontrol emosi. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa penanaman
pendidikan karakter sejakdini berdampak positif terhadap pencapaian akademis.
4
Nurla Isna Aunillah. Panduan Menerapkan
Pendidikan Karakter di Sekolah.(Yogyakarta: Penerbit Laksana. 2011) hlm.18
[1] Jamal Ma’mur Asmuni, “Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah..”...,,
hal.85
[3] Mansur Muslich,Pendidikan Karakter, Menjawab tantangan Kritis Multidimensional, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), hla.183
Tidak ada komentar:
Posting Komentar